Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain total dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /www/ts20250703/38.181.62.195/wp-includes/functions.php on line 6121
Simulacra dan Hiperrealistis dalam Fenomena Barang Branded di Dunia Olahraga Lari – mahjong ways

Simulacra dan Hiperrealistis dalam Fenomena Barang Branded di Dunia Olahraga Lari

Saat ini, kegiatan olahraga sedang marak dikalangan masyarakat terutama anak muda. Salah satu olahraga yang marak dikalangan anak muda adalah olah raga lari. Namun, ditengah maraknya olahraga ini, lari tidak lagi hanya dipahami sebagai aktivitas fisik untuk menjaga kesehatan. Di banyak kota besar, lari telah menjadi bagian dari gaya hidup perkotaan yang identik dengan simbol dan citra sosial. Salah satu simbol yang paling menonjol dalam komunitas pelari saat ini adalah sepatu yang dikenakan. Sepatu bermerek seperti Nike, Adidas, atau Hoka kini seolah menjadi syarat sosial tidak tertulis bagi siapa pun yang ingin dianggap sebagai pelari serius.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sepatu lari bukan hanya alat bantu untuk olahraga, tetapi juga telah berubah menjadi penanda status sosial. Pemilihan sepatu bukan semata karena fungsinya, melainkan karena makna simbolik yang melekat padanya. Sepatu tertentu memberi kesan bahwa pemakainya adalah sosok pelari yang modern, serius terhadap performa, bahkan berkelas. 

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui pemikiran filsuf Prancis Jean Baudrillard, khususnya konsepnya simulacra dan hiperrealitas. Baudrillard menjelaskan bahwa dalam masyarakat posmodern, kenyataan yang kita alami tidak lagi bersifat murni, melainkan telah digantikan oleh simulasi, yaitu representasi yang terlihat seperti kenyataan, padahal sebenarnya tidak merujuk pada realitas apa pun. Sedangkan, simulacra adalah simbol atau gambar yang telah kehilangan rujukan terhadap kenyataan, tapi tetap diyakini sebagai kebenaran. Ketika simulasi ini menjadi dominan, masyarakat hidup dalam hiperrealitas, yaitu suatu kondisi di mana yang nyata dan yang tidak nyata tidak bisa dibedakan.

Dalam konteks fenomena olahraga lari ini, sepatu merek Nike, Adidas, atau Hoka bukan lagi sekadar perlengkapan olahraga. Ia telah menjadi citra tentang apa itu pelari sejati. Iklan, media sosial, dan tokoh-tokoh publik membentuk narasi bahwa pelari yang hebat harus memakai sepatu dengan teknologi terbaru, desain mutakhir, dan harga tinggi. Akibatnya, banyak orang membeli sepatu bukan karena kenyamanannya, tapi karena ingin dianggap bagian dari komunitas pelari atau layak tampil di arena lari. Ini adalah bentuk dari simulasi status, di mana barang digunakan untuk menampilkan citra, bukan karena kegunaan aslinya. Maka, dengan begitu sepatu olahraga bermerek besar seperti Nike atau Hoka membentuk makna simbolik yang kuat melalui pengaruh media dan lingkungan sosial. Sepatu Hoka tidak lagi sekadar produk, melainkan sudah menjadi bagian dari hegemoni budaya konsumsi, yang mempengaruhi cara masyarakat melihat dan menilai satu sama lain.

Fenomena ini cukup berdampak, terutama bagi pelari pemula atau masyarakat yang ingin mulai berlari namun tidak mampu membeli sepatu branded. Banyak dari mereka merasa minder atau tidak percaya diri, karena merasa tidak sesuai dengan standar visual yang dibentuk oleh komunitas. Dalam beberapa kasus, mereka akhirnya enggan ikut komunitas atau kegiatan lari, meskipun memiliki semangat dan niat yang kuat. Inilah yang disebut sebagai eksklusi simbolik. Artinya, hegemoni budaya konsumsi ini telah membentuk pengucilan sosial yang terjadi bukan karena aturan formal, tetapi karena tekanan dari simbol-simbol budaya yang dominan.
Lebih jauh, kondisi ini menunjukkan bahwa nilai fungsi sepatu lari telah tergantikan oleh nilai tanda (sign-value). Yang dinilai bukan lagi seberapa nyaman atau aman sepatu itu saat digunakan, tapi apa yang dikatakan sepatu itu tentang diri pemakainya. Sepatu menjadi alat komunikasi sosial, bahkan menjadi semacam identitas visual di mata orang lain.

Seperti yang dijelaskan Baudrillard, masyarakat hari ini membeli barang bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk menunjukkan siapa mereka. Dalam kasus ini, lari bukan hanya soal olahraga, tapi juga soal pencitraan sosial. Dan dalam dunia yang sudah sangat dipenuhi oleh simulasi, sering kali kita lebih peduli pada citra dibandingkan kenyataan.

Referensi
* Baudrillard, J. (1995). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.
* Hikmawan, M. D., & Azwar, A. F. (2019). Fashion Branding dalam Narasi Simulacra dan Simulasi (Penggunaan Brand “Nike” dalam Menentukan Status Sosial di Masyarakat). Journal of Scientific Communication, 1(1), 56–64.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




Mohon tunggu…

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya

Beri Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi
tanggung jawab komentator
seperti diatur dalam UU ITE


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *