Kemenangan pasangan muda Indonesia, Zaidan Arrafi Awal Nabawi dan Jessica Maya Rismawardani, atas duet Denmark Rasmus Espersen dan Amalie Cecilie Kudskall di final Denmark International Challenge 2025, bukan sekadar catatan turnamen level menengah Eropa. Kemenangan ini merupakan sinyal kuat tentang fase baru yang tengah digerakkan oleh Pelatnas PBSI dalam menata ulang strategi regenerasi sektor ganda campuran. Sektor yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi titik lemah dalam peta kekuatan badminton Indonesia.
Dalam Piala Sudirman 2025 yang baru berlalu, ganda campuran menjadi sektor yang paling rentan, mencatat persentase kemenangan terendah di antara lima sektor. Kemenangan Zaidan-Jessica dalam dua set 21-14 dan 21-13, menjadi oase di tengah kegersangan prestasi sektor ini. Mereka tidak hanya menang, tetapi menang meyakinkan dalam pertandingan yang menampilkan kecerdasan taktik, ketenangan di poin-poin kritis, serta kekompakan yang jarang terlihat dari pasangan muda.
Jika kita tilik dari perspektif teori regenerasi atlet, seperti yang digagas oleh Balyi dan Hamilton (2004) dalam Long-Term Athlete Development (LTAD), Zaidan dan Jessica adalah contoh nyata dari tahap Train to Compete yang optimal. Mereka berada dalam usia emas transisi menuju level senior elite, dan Denmark Challenge menjadi panggung pembuktian bahwa fase itu telah mereka lampaui dengan baik. PBSI perlu menangkap momentum ini sebagai bukti sahih bahwa generasi baru siap diorbitkan lebih cepat, tanpa harus menunggu “jatah” senior.
Kemenangan ini sekaligus menegaskan pentingnya desain jalur karier atlet yang tidak hanya bergantung pada pelatnas utama, tetapi juga lewat eksposur ke turnamen internasional kelas B dan C di Eropa. Denmark Challenge, meskipun bukan level Super Series, memiliki atmosfer kompetitif yang sangat khas, mengingat budaya bulutangkis Eropa yang tak bisa diremehkan. Pasangan Denmark yang dikalahkan Zaidan-Jessica sendiri adalah salah satu tumpuan regenerasi Eropa, khususnya dalam program pemuda Badminton Europe.
Dari perspektif manajemen olahraga modern, terutama dalam konteks manajemen sektor ganda campuran, kita perlu menyadari bahwa pola pasangan “turun-menurun” yang dahulu dipakai PBSI, yakni mengandalkan satu pasangan top untuk jangka waktu lama, harus dirombak. Model dinamis dan eksperimental seperti yang diterapkan China dan Korea Selatan, di mana atlet terus dipasangkan ulang berdasarkan karakter dan performa, perlu diadopsi lebih konsisten di Indonesia.
Zaidan-Jessica mungkin bukan pasangan yang lahir dari program panjang, tapi justru dari eksperimen taktik PBSI pasca kegagalan-kegagalan ganda campuran. Inilah bukti bahwa keberanian “bongkar-pasang” pasangan bukan hanya soal coba-coba, melainkan strategi ilmiah yang harus dikawal oleh data dan analisis performa. Mereka dibentuk bukan karena keterpaksaan, tapi karena kecocokan karakter: Zaidan yang berasal dari PB Exist DKI Jakarta berkarakter agresif dan cepat di depan, berpadu dengan Jessica yang berasal dari PB Djarum Kudus memiliki karakter stabil dan tenang dari baseline.
Dalam konteks strategi manajemen performa (performance management), PBSI juga perlu mulai menggunakan indikator kuantitatif yang lebih canggih, seperti sistem tracking shot, heatmap permainan, dan evaluasi psikologis kompetitif. Kemenangan Zaidan-Jessica ini harus dianalisis secara menyeluruh menggunakan data agar kita bisa mereplikasi keberhasilan ini pada pasangan lain dalam proses regenerasi.
Satu hal penting yang tak boleh diabaikan adalah psikologi kemitraan dalam ganda campuran. Tak seperti ganda putra atau putri, ganda campuran membutuhkan koordinasi yang tidak hanya teknis, tetapi juga afektif. Jessica dan Zaidan menunjukkan sinyal komunikasi yang matang, tanpa friksi atau miskomunikasi selama pertandingan final. Ini adalah aset yang jarang ditemukan dalam pasangan muda, dan PBSI harus menyiapkan program psikologis yang mendukung proses pembentukan pasangan sejak tahap junior.
Kemenangan ini juga harus dilihat dalam konteks global, yaitu sektor ganda campuran tengah mengalami power shift. Dominasi China mulai terpecah, sementara Jepang dan Korea menguat lewat regenerasi pasangan-pasangan muda yang agresif. Jika Indonesia tidak ikut masuk dalam peta perubahan ini, maka kita akan terus menjadi penonton dalam kejuaraan-kejuaraan elite seperti Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.
Di balik kemenangan Zaidan-Jessica, ada peluang besar untuk membangun “laboratorium pasangan campuran” di PBSI. Sebuah unit khusus yang bertugas menganalisis, merancang, dan menguji berbagai kombinasi pemain sejak level U17 dan U19. Hal ini akan menyeimbangkan kebutuhan regenerasi dengan kebutuhan pencapaian jangka pendek, yang selama ini seringkali tumpang tindih dalam manajemen prestasi olahraga Indonesia.
Pelajaran dari Denmark Challenge juga membuktikan bahwa kita tidak bisa terus bergantung pada nama-nama besar. Setelah era Tontowi-Liliyana berakhir, PBSI tampak gagal menjaga kesinambungan prestasi. Zaidan-Jessica memberi harapan bahwa legacy tidak harus linier, namun bisa muncul dari bawah, dari kerja keras yang terukur, dan dari strategi yang berani keluar dari pakem lama. Mereka adalah prototipe ideal dari regenerasi berbasis meritokrasi. Bukan karena popularitas, bukan karena senioritas, tapi karena performa. Inilah prinsip utama dalam teori manajemen olahraga kontemporer, bahwa pengambilan keputusan berbasis hasil nyata, bukan asumsi atau tradisi.