*Oleh: PW
Politik di Lapangan Prestasi
Tulisan ini menggambarkan kegelisahan mendasar atas kondisi dunia olahraga Indonesia yang semakin jauh dari nilai-nilai profesionalisme dan meritokrasi. Penulis membuka dengan menyatakan bahwa kemenangan dalam olahraga tidak cukup hanya dengan kekuatan fisik, melainkan juga memerlukan sistem yang kokoh, visi yang jelas, dan kepemimpinan yang memahami dunia olahraga. Namun, prinsip ini mulai terkikis ketika organisasi olahraga, khususnya KONI, dikuasai oleh elite politik lokal. Fenomena kepala daerah yang merangkap sebagai Ketua KONI menjadi simbol dari pergeseran arah lembaga ini dari ruang pembinaan prestasi menjadi alat kekuasaan politik. Paragraf ini menegaskan bahwa dominasi kepala daerah dalam tubuh KONI tidak hanya melemahkan fungsi manajerial, tetapi juga menciptakan konflik kepentingan, menurunkan standar profesional, dan mengaburkan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam pengembangan olahraga prestasi.
Dalam dunia olahraga, kita mengenal prinsip dasar bahwa kemenangan bukan hanya ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi oleh ketangguhan sistem, kejelasan visi, dan kepemimpinan yang paham medan. Sayangnya, prinsip ini kian pudar ketika lapangan olahraga dikuasai oleh elite politik yang menjadikan organisasi olahraga sebagai panggung kekuasaan. Fenomena kepala daerah yang merangkap jabatan sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di berbagai wilayah adalah satu dari sekian banyak ironi dalam tata kelola olahraga Indonesia.
KONI, yang sejatinya merupakan lembaga non-pemerintah dengan mandat khusus membina dan mengembangkan olahraga prestasi, justru menjadi semacam ‘kantor cabang’ kekuasaan politik lokal. Dari Nabire di Papua hingga Langkat di Sumatera Utara, struktur organisasi olahraga dirampas oleh kepala daerah aktif. Ini bukan hanya mengaburkan fungsi manajerial olahraga, tetapi juga membuka ruang konflik kepentingan, merusak profesionalisme, dan menjauhkan olahraga dari prinsip meritokrasi yang semestinya menjadi pijakan utama.
Dalam banyak kasus, kepala daerah menjadikan jabatan Ketua KONI sebagai alat pencitraan politik. Alih-alih memimpin pembinaan atlet dengan pendekatan scientific coaching, mereka lebih sibuk menyelenggarakan event-event seremonial untuk meningkatkan popularitas menjelang pemilu. Akibatnya, proses regenerasi atlet dan pelatih stagnan, sistem kompetisi usia dini macet, dan kualitas pelatihan menurun drastis. Bahkan, ada daerah yang selama tiga tahun berturut-turut gagal menyusun laporan pertanggungjawaban KONI karena ketuanya terlalu sibuk dengan urusan birokrasi dan politik.
KONI Kehilangan Independensi
Secara struktural, KONI bukanlah lembaga eksekutif. Ia dibentuk sebagai wadah organisasi keolahragaan yang berdiri di luar struktur pemerintahan formal, namun memiliki legitimasi kuat dalam pengelolaan olahraga prestasi. Fungsi ini menuntut kepemimpinan yang netral, berkompeten, dan memiliki rekam jejak dalam dunia olahraga. Sayangnya, hal ini kini hanya tinggal konsep di atas kertas.
Kepemimpinan KONI yang diisi oleh kepala daerah aktif telah menyebabkan lembaga ini kehilangan independensinya. Arah kebijakan yang seharusnya teknokratik berubah menjadi politis. Agenda-agenda strategis yang semestinya berorientasi pada prestasi jangka panjang berubah menjadi kegiatan populis jangka pendek. Alih-alih menjadi pusat inovasi pembinaan atlet, KONI terjebak menjadi lembaga pelaksana event politis yang minim nilai tambah bagi pengembangan kualitas olahraga nasional.
Menurut Dr. Andri Wirawan, pakar manajemen olahraga dari Universitas Negeri Yogyakarta, ketika struktur kepemimpinan KONI diisi oleh aktor politik, maka lembaga ini kehilangan fungsinya sebagai institusi teknokratik. Ia menyatakan bahwa “keberhasilan pembinaan ditentukan oleh keberlanjutan program, bukan oleh pendekatan populistik yang menyesuaikan agenda lima tahunan.”