Sepak bola Italia sedang bergejolak. Sebuah badai menghantam tim nasional, yang kerap dijuluki Azzurri, meninggalkan kekacauan dan kebingungan di tengah persiapan krusial.
Pemecatan Luciano Spalletti, pelatih yang baru saja menukangi tim, menjelang laga kualifikasi Piala Dunia melawan Moldova, adalah pemicu awal.
Namun, yang lebih mencemaskan adalah sulitnya Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) menemukan pengganti yang bersedia mengambil alih kemudi.
Situasi ini bukan sekadar krisis teknis; ini adalah krisis moral, yang menuntut refleksi mendalam tentang makna pengabdian bagi negara.
Saya mengamati dengan prihatin ketika Claudio Ranieri, yang semula menjadi target utama, memilih menolak tawaran tersebut.
Keputusan ini, tanpa bermaksud menghakimi, memicu pertanyaan besar: Mengapa seorang pelatih papan atas menolak kesempatan emas untuk memimpin tim nasionalnya sendiri?
Bukankah ini adalah puncak karier bagi banyak pelatih, sebuah kehormatan yang tak ternilai?
Bisikan Hati Seorang Legenda: Panggilan untuk Mengabdi
Di tengah pusaran ketidakpastian ini, suara seorang legenda bangkit. Arrigo Sacchi, mantan pelatih yang membawa Italia mencapai puncak kejayaan, menyuarakan kekecewaannya dengan nada yang tegas dan lugas.
Bagi Sacchi, menjadi bagian dari skuad nasional, entah sebagai pemain atau pelatih, adalah kewajiban moral. Sebuah panggilan yang tak seharusnya ditolak, sebuah amanah yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab.