Timnas Indonesia lolos di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Kemenangan yang membawa euforia luar biasa. Namun, di balik perayaan besar ini, sebuah pemikiran muncul. Memaksa kita melihat kenyataan yang lebih kompleks.
Saya merasa dua emosi yang berbeda dalam lima hari ini. Pertama, saya merasa haru saat gol penalti Romeny masuk. Saya melihat puluhan ribu penonton di televisi jadi lautan merah.
Walau tak menonton on the spot. Saya bisa dengar gemuruh sorak-sorai mereka yang memekakkan telinga. Harapan seluruh bangsa terasa memuncak pada satu momen.
Lima hari kemudian. Saya hanya menatap layar dengan diam. Saya melihat para pemain kita berlari tanpa hasil di laga tandang. Tiap gol yang masuk ke gawang Audero. Memaksa saya berhitung. Hingga enam kali.
Harapan yang tadinya setinggi langit, jatuh menghantam bumi.
Pikiran saya mulai memproses. Timnas menang tiga kali di kandang. Namun kalah telak tiga kali saat tandang. Angka 20 di kolom kebobolan terasa menusuk. Jumlah yang sama dengan tim yang gagal lolos.
Saat melihat Timnas. Saya melihat skuad berisi talenta Eropa. Dan dukungan suporter yang luar biasa. Namun, saya juga melihat data kekalahan yang brutal.
Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan di benak saya. Apakah strategi yang berhasil meloloskan kita, adalah strategi yang sama yang akan menghancurkan mimpi kita di babak berikutnya?
—
Paradoks yang saya rasa ternyata bukan sekadar firasat. Euforia pencapaian historis Timnas Indonesia adalah nyata. Namun media dan para pengamat menyorot. Bagaimana keberhasilan ini justru memperlihatkan kelemahan fundamental.