Di balik sorak sorai penonton dan gemuruh stadion, tersimpan kerja senyap yang tak kalah penting: orkestrasi liga domestik dalam membentuk tim nasional. Bagi Jepang dan Indonesia, dua negara dengan latar belakang sepak bola yang sangat berbeda, peran liga dalam membentuk timnas bukan sekadar soal kompetisi. Ia adalah jantung dari proyek panjang bernama “mimpi ke Piala Dunia”.
Mari kita mulai dari negeri sakura. Jepang, yang sudah lima kali berturut-turut lolos ke Piala Dunia sejak 1998, tidak tiba di titik itu secara kebetulan. Mereka membangun segalanya secara sistemik. J.League yang lahir pada 1993 bukan hanya kompetisi antarklub, melainkan pabrik besar talenta yang terintegrasi langsung dengan cita-cita tim nasional. J.League bukan hanya tentang menang-kalah, tapi juga tentang pembinaan, kurasi, dan konsistensi.
Bandingkan dengan Indonesia. Liga 1—yang kini berada di bawah pengelolaan PT LIB—memang sudah mulai menemukan bentuk profesionalnya. Klub-klub makin sehat secara bisnis, stadion makin rapi, bahkan tayangan siaran sudah sekelas internasional. Tapi bagaimana dengan peran Liga 1 dalam membentuk timnas? Di sinilah ceritanya menjadi menarik.
J.League: Mesin Pembentuk Samurai Biru
Jepang sangat serius soal orkestrasi antara liga dan timnas. Salah satu tokoh penting di balik ini adalah Takeshi Okada, pelatih yang membawa Jepang ke Piala Dunia 1998 dan 2010. Ia pernah mengatakan bahwa keberhasilan timnas tak mungkin terjadi tanpa dukungan liga yang sehat dan terorganisir. Dalam struktur J.League, bahkan ada regulasi khusus yang mendorong klub untuk mempromosikan pemain muda lokal, termasuk batas jumlah pemain asing.
Hasilnya? Nama-nama seperti Takefusa Kubo, Kaoru Mitoma, hingga Ritsu Doan bukan muncul dari ruang hampa. Mereka dilatih, dikawal, dan diberi ruang tumbuh di kompetisi yang ketat namun terukur. Ketika mereka akhirnya “terbang” ke Eropa, mereka sudah matang, sudah punya dasar yang kuat. Bahkan dalam proses seleksi pemain timnas, pelatih Jepang kerap hadir langsung di laga-laga J.League, memastikan bahwa semua keputusan berdasar data dan pengamatan.
Lebih dari itu, federasi Jepang (JFA) punya kurikulum pelatihan usia dini yang terkoneksi langsung dengan klub-klub J.League. Ini bukan hanya soal sepak bola, tapi juga soal mentalitas, gizi, hingga pendidikan. Mereka paham, Piala Dunia bukan ajang one-hit wonder, tapi soal keberlanjutan.
Liga 1: Masih Sibuk Dengan Masalah Dasar
Kini mari menoleh ke Indonesia. Liga 1 memang makin menggeliat. Pemain muda seperti Marselino Ferdinan, Rafael Struick, dan Hokky Caraka mulai mencuri perhatian. Tapi kalau kita bicara sistem, Liga 1 belum benar-benar terhubung dengan timnas dalam skema besar yang berkelanjutan.
Misalnya soal regulasi pemain muda. Memang ada kewajiban memainkan pemain U-23, tapi implementasinya kerap formalitas belaka. Banyak pelatih lebih memilih “memainkan” pemain muda di awal laga, lalu menggantinya di menit ke-10. Tujuannya? Ya sekadar memenuhi regulasi, bukan membina.