Dalam sepak bola era kekinian, hasil akhir dan prestasi biasa menjadi tolok ukur kinerja seorang pelatih. Jika performa tim bagus dan meraih prestasi, posisi sang pelatih biasanya aman. Andai performa jeblok tapi masih mampu meraih prestasi, pemecatan masih bisa dihindari.
Tapi, ada kalanya sebuah prestasi tak jadi jaminan seorang pelatih otomatis aman dari pemecatan. Situasi inilah yang dialami Ange Postecoglou, yang dicopot dari posisi pelatih Tottenham Hotspur, tak lama setelah membawa tim juara Liga Europa musim 2024-2025, dan lolos langsung ke Liga Champions musim 2025-2026.
Sebagai gantinya Tottenham membidik pelatih dari sesama klub Liga Inggris, yakni Thomas Frank (pelatih Brentford) dan Marco Silva (Fulham). Keduanya dipandang sebagai kandidat ideal, karena mampu menghadirkan stabilitas di klub masing-masing.
Sepintas, keputusan manajemen klub asal kota London ini terlihat aneh. Bagaimana mungkin seorang pelatih, yang membantu klub meraih gelar pertama sejak tahun 2008, dan gelar kontinental pertama sejak puluhan tahun terakhir, ditendang begitu saja, layaknya seorang pelatih yang gagal total?
Ternyata, keputusan ini diambil manajemen Spurs, setelah mempertimbangkan progres dan performa tim, selama pelatih asal Australia itu bertugas.
Seperti diketahui, performa Tottenham bersama Ange terbilang kontras. Pada musim 2023-2024, Son Heung Min dkk mampu bersaing di papan atas Liga Inggris. Meski akhirnya hanya mendapat tiket lolos ke Liga Europa, gaya main agresif yang diusung sang pelatih banyak diapresiasi.
Maklum, Big Ange melakukan itu, justru pada saat tim ditinggal pergi Harry Kane ke Bayern Munich di awal musim. Ujung tombak Timnas Inggris ini biasa diandalkan sebagai pencetak gol utama tim selama bertahun-tahun.
Jadi, ketika sebuah kekhawatiran dan keraguan mampu dijawab dengan racikan taktik jitu, dan gaya main yang enak dilihat, seharusnya optimisme untuk musim kedua adalah satu bentuk keyakinan yang masuk akal.
Masalahnya, pendekatan taktik eks pelatih Glasgow Celtic ini malah berbalik jadi bumerang di musim 2024-2025. Gaya main agresif, lengkap dengan tempo tinggi, pada akhirnya membuat The Lilywhites panen cedera pemain di periode sibuk.
Akibatnya, tim rival bebuyutan Arsenal ini mengalami penurunan performa secara drastis di liga. Tim yang tahun sebelumnya ikut bersaing mengejar tiket lolos ke Liga Champions justru harus berjuang menghindari ancaman degradasi ke Divisi Championsip.