Rades, 2 Juni 2025 – Dalam sebuah laga persahabatan yang sejatinya hanya menjadi pemanasan menuju kompetisi resmi, Tunisia berhasil menyulut kembali semangat nasionalisme dan membalaskan luka sejarah atas Burkina Faso, dengan kemenangan bersih 2-0 di Stade Olympique Hammadi-Agrebi. Tapi ini bukan hanya soal skor. Ini adalah tentang harga diri, tentang sejarah yang belum selesai, dan tentang bagaimana sepak bola bisa menjadi ruang rekonsiliasi antara rasa malu dan harapan.
Luka yang Belum Pulih: Dua Piala Afrika, Dua Kekalahan Menyakitkan
Tunisia, tim berjuluk Les Aigles de Carthage, datang ke laga ini dengan beban sejarah yang berat. Dalam dua pertemuan terakhir melawan Burkina Faso di ajang Piala Afrika – perempat final tahun 2017 dan 2022 – mereka tersingkir dengan cara yang menyakitkan. Kekalahan 2-0 di tahun 2017 dan 1-0 di 2022 menjadi noda pahit yang menandai periode stagnasi sepak bola Tunisia.
Bagi publik Tunisia, Burkina Faso bukan sekadar lawan. Ia adalah cermin kegagalan masa lalu, sekaligus simbol ketidakberdayaan di panggung kontinental. Maka, ketika peluit pertama dibunyikan malam tadi, yang berlangsung bukan sekadar pertandingan, tapi pertempuran eksistensial: siapa yang masih punya nyawa dalam pentas Afrika?
Jalannya Pertandingan: Skor yang Tak Mewakili Segalanya
Meskipun hasil akhir menunjukkan kemenangan 2-0, kenyataannya pertandingan berlangsung jauh lebih ketat. Burkina Faso, dengan lini tengah yang energik dan pressing tinggi, mampu menahan gempuran Tunisia di babak pertama. Namun, Tunisia menunjukkan kelasnya melalui kesabaran dan adaptasi taktik yang cermat.
Gol pertama datang bukan dari aksi brilian, melainkan dari tragedi: Edmond Tapsoba, bek andalan Burkina Faso, mencetak gol bunuh diri pada menit ke-60 usai gagal mengantisipasi umpan silang tajam dari Elias Achouri. Bola memantul di antara kaki dan masuk ke gawang sendiri. Tertunduk, Tapsoba seolah membawa beban bukan hanya kesalahan, tapi juga kekecewaan tim yang mulai goyah.
Gol kedua datang di detik-detik akhir, saat pemain muda Hazem Mastouri – anak muda berusia 19 tahun yang disebut-sebut sebagai the next Youssef Msakni – memanfaatkan kelengahan lini belakang lawan dan menceploskan bola dengan dingin di menit 90+1. Skor 2-0 pun tak berubah hingga peluit panjang.
Analisis Taktikal: Pendewasaan Kolektif Tunisia
Pelatih Jalel Kadri patut mendapat pujian. Ia berhasil membaca intensitas dan karakter permainan Burkina Faso. Alih-alih bermain terbuka sejak awal, Tunisia menahan diri dan mengalirkan bola dari lini ke lini dengan sabar. Skema 4-2-3-1 yang fleksibel memungkinkan Tunisia merespons dengan cerdas terhadap tekanan lawan, sekaligus menyerang balik dengan efektivitas tinggi.
Di sisi lain, Burkina Faso terlihat kehabisan ide saat memasuki zona akhir. Bertrand Traor, sang kapten, kesulitan mencari ruang. Isolasi antar lini menyebabkan transisi serangan mereka mandek di sepertiga akhir.