Jakarta, 1 Juni 2025 Harapan publik pecinta bulutangkis Tanah Air untuk melihat kembali kejayaan Indonesia di turnamen-turnamen besar harus kembali tertunda. Dalam tiga turnamen berturut-turut di kawasan Asia Tenggara Thailand Open 2025, Malaysia Masters 2025, dan Singapore Open 2025 kontingen Merah Putih gagal membawa pulang satu pun gelar juara.
Torehan ini memperpanjang catatan puasa gelar Indonesia di level BWF World Tour dalam beberapa bulan terakhir, menimbulkan kekhawatiran sekaligus evaluasi besar terhadap performa atlet-atlet elite yang diturunkan.
Dari Tradisi Emas ke Kemandekan Prestasi
Indonesia adalah kekuatan tradisional dalam dunia bulutangkis. Nama-nama besar seperti Taufik Hidayat, Liliyana Natsir, hingga pasangan ganda legendaris seperti Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan menjadi saksi dari masa-masa emas. Namun kini, dominasi itu perlahan memudar. Dalam kalender turnamen awal tahun 2025, Indonesia belum sekalipun meraih gelar di level BWF World Tour Super 500 ke atas. Bukan hanya kehilangan trofi, para pemain bahkan kesulitan menembus babak semifinal.
Faktor Internal: Regenerasi Mandek dan Cedera Berulang
Salah satu faktor utama yang turut disorot adalah regenerasi yang stagnan. Skuad pelatnas masih sangat bergantung pada pemain senior yang telah melewati masa puncaknya. Masalah cedera juga menjadi batu sandungan. Anthony Ginting kembali dibekap cedera hamstring saat Malaysia Masters. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai manajemen fisik dan sport science di pelatnas. Di era di mana kekuatan negara lain seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Korea, dan India terus meningkat lewat pendekatan teknologi dan metodologi modern, Indonesia justru terkesan tertinggal dalam pembinaan jangka panjang.
Faktor Eksternal: Persaingan Global Semakin Ketat
Namun tentu, masalah ini bukan hanya datang dari dalam. Persaingan dunia bulutangkis saat ini jauh lebih kompetitif. Negara-negara seperti Thailand, India, dan bahkan Perancis kini telah melahirkan juara-juara dunia di berbagai sektor. Infrastruktur pelatihan mereka makin modern, dan pendanaan dari pemerintah lebih konsisten. Akibatnya, Indonesia yang dulu menjadi “raja Asia Tenggara”, kini justru kerap terhenti oleh pemain-pemain muda dari negara tetangga. Hal ini semakin menegaskan bahwa keunggulan historis bukanlah jaminan keberlanjutan prestasi, jika tak dibarengi dengan inovasi dan pembaruan. Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan. Publik mulai mempertanyakan arah dan strategi PBSI selaku induk organisasi bulutangkis nasional. Evaluasi bukan lagi bersifat teknis, tetapi struktural: dari sistem seleksi, pendekatan pelatihan, rotasi pemain, hingga keterbukaan terhadap pelatih asing dan metode baru.
PBSI sudah menyatakan komitmen untuk melakukan audit internal dan pembaruan dalam sistem pelatihan, termasuk rencana kolaborasi dengan pakar sport science dari luar negeri. Namun pertanyaan publik tetap sama: Apakah perubahan itu akan cukup cepat untuk menyelamatkan Olimpiade 2026?
Akhir Sebuah Dominasi?