Sebuah Pagi Setelah Kekalahan: Menggugat Rasa dan Asa
Pagi itu, Surabaya bernafas dengan tempo pelan. Kekalahan 1-3 dari Bali United masih mengendap dalam benak ribuan Bonek. Bukan hanya soal skor. Bukan pula sekadar statistik enam kekalahan beruntun sejak 2022 dari tim yang dikenal sebagai Serdadu Tridatu. Lebih dari itu, ini tentang identitas. Tentang bagaimana tim sebesar Persebaya harus berkaca-lagi.
Mereka bilang, sepak bola adalah cermin masyarakat. Jika benar, maka pertandingan ini adalah potret bagaimana kita terkadang terlalu nyaman dengan sejarah, lupa bahwa modernitas menuntut adaptasi.
Dominasi Bali United-Bukan Sekadar Kemenangan
Empat menit pertama pertandingan di Stadion Gelora Bung Tomo menjadi alarm keras: Irfan Jaya, eks Persebaya, mencetak gol cepat setelah menerima umpan Boris Kopitovic. Sakit? Tentu. Tapi juga menyadarkan bahwa sistem dan struktur lebih berbahaya dari sekadar pemain yang berpindah seragam.
Rahmat Arjuna menyusul di menit ke-27, dan Boris Kopitovic menambah gol ketiga pada menit ke-82. Persebaya sempat memperkecil ketertinggalan melalui gol indah Francisco Rivera, namun skor akhir tetap 1-3. Ini bukan sekadar kekalahan, ini adalah pelajaran tentang bagaimana organisasi mengalahkan improvisasi.
Dominasi Bali United bukan cuma pada papan skor. Ini adalah kemenangan manajemen, infrastruktur, dan konsistensi. Di sisi lain, Persebaya masih mencari-cari bentuk. Tim yang sejak dulu penuh gairah kini seperti kehilangan arah di tengah kebisingan target jangka pendek dan krisis strategi jangka panjang.
Dari Eksodus Pemain hingga Krisis Karakter
Kita harus jujur. Persebaya tak cuma kalah di lapangan. Mereka kalah di meja perencanaan. Banyak pemain muda potensial pergi karena tidak ada jaminan sistematis bagi pengembangan mereka. Bahkan nama-nama seperti Irfan Jaya dan Ricky Kambuaya pun angkat kaki, mencari tempat di mana visi lebih jelas.
Dalam buku “The Club” karya Joshua Robinson dan Jonathan Clegg, dijelaskan bahwa klub besar bukan hanya soal sejarah dan suporter, tetapi soal arah jangka panjang. Persebaya saat ini terlihat seperti klub yang terjebak romantisme masa lalu.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Bali United?