Sepakbola dan demokrasi adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sepakbola sangat menjunjung tinggi sportifitas dan sangat menghormati kebebasan berekspresi. Di negeri ini, yang terjadi malah sebaliknya. Sanksi berat yang dijatuhkan Komite Disiplin (Komdis) PSSI terhadap kapten PSM Makassar, Yuran Fernandes sebagai bukti.
Pemain timnas Cape Verde ini mendapat sanksi larangan bermain selama satu tahun dan denda Rp25 juta. Keputusan ini diambil karena Yuran memberikan kritik keras atas kinerja wasit di sosial media Instagram. Keputusan atas sanksi ini sontak menuai protes luas dari berbagai lapisan publik sepakbola.
Publik menilai pemberian sanksi dianggap tidak hanya merugikan Yuran Fernandes dan PSM Makassar, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi pemain sepak bola Indonesia. Beragam pandangan disampaikan publik sepakbola atas sanksi ini.
Padahal kritik itu ruang demokrasi, bentuk dari feedback yang seharusnya jadi bahan refleksi bagi setiap institusi. Namun, Komdis PSSI justru memposisikan kritik sebagai bentuk ancaman, bukan sebagai masukan demi pembenahan. Hal ini cerminan sikap mental anti kritik yang justru kontraproduktif bagi perkembangan sepak bola Indonesia.
Jika semua protes dan kritik harus mendapat sanksi berat, kapan ruang evaluasi dan perbaikan sepak bola nasional dilakukan? Mengapa Komdis PSSI sangat reaktif menghukum pemain yang protes ketimbang mengevaluasi wasit yang bermasalah? Mengapa mekanisme disiplin hanya berlaku sepihak? Dimana letak keadilan sistemik dalam sepak bola Indonesia?
Yuran hanya penyambung lidah publik
Reaksi publik terhadap sanksi Yuran sangat jelas dan tegas. Menurut akal sehat mereka, sanksi ini dipandang sebagai bentuk pembungkaman. Aksi yang dilakukan sekelompok supporter PSM bersama kelompok supporter lainnya melalui tagar #KamiBersamaYuran, adalah bentuk gerakan perlawanan.
Gerakan ini bukan tentang solidaritas membela Yuran semata, melainkan memperjuangkan prinsip kebebasan berekspresi dalam sepak bola. Akal sehat publik sepakat, kritik Yuran merupakan representasi suara publik yang selama ini diabaikan oleh Komdis PSSI.
Dalam kasus ini, Yuran sebenarnya tidak sedang berbicara untuk dirinya sendiri. Ia adalah penyambung lidah dari para pemain, pelatih, pengamat dan jutaan supporter sepak bola yang selama ini geram melihat ketidakadilan di lapangan hijau.
Sanksi atas Yuran, bukan hanya menghukum seorang pemain, tetapi juga membungkam suara publik. Terlebih Yuran punya andil besar Bersama PSM Makassar memberikan tambahan poin untuk peringkat rangking sepakbola Indonesia di AFC Cup.
Mengingat apa yang diungkapkan Yuran di Instagram bukan hal baru. Hampir setiap saat di tribun stadion hingga warung kopi, obrolan tentang kinerja wasit yang tidak kompeten, keputusan kontroversial dan ketidaktransparanan liga terus bergulir. Inilah ironi sepak bola negeri ini, dimana kesalahan wasit dibiarkan, sementara yang mengkritik dihukum tanpa pembelaan.