Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain total dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /www/indo/38.181.62.195/wp-includes/functions.php on line 6121
Pelatnas PBSI Ditinggal Jojo dan Chico, Saatnya Regenerasi Pembinaan! – mahjong ways

Pelatnas PBSI Ditinggal Jojo dan Chico, Saatnya Regenerasi Pembinaan!

Kabar mengejutkan datang dari Pelatnas PBSI Cipayung. Jonatan Christie, pebulutangkis tunggal putra andalan Indonesia, secara resmi mengundurkan diri dari Pelatnas pada Kamis, 15 Mei 2025. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua Umum 1 PP PBSI, Taufik Hidayat. Mundurnya Jojo, sapaan akrab Jonatan, disusul oleh Chico Aura Dwi Wardoyo, menandai babak baru dalam sejarah tunggal putra Indonesia.

Keputusan Jojo bukan semata karena alasan emosional pasca hasil di Olimpiade Paris 2024. Ini lebih dalam, yakni refleksi sistemik tentang kelelahan, tekanan, dan stagnasi performa dalam sistem Pelatnas yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan keolahragaan modern.

Jojo memang mengalami pukulan berat di Paris. Gagal membawa medali pulang membuatnya merasa tanggung jawab itu terlalu besar untuk dipikul seorang diri. Ia sempat menyatakan keinginannya memberi ruang bagi regenerasi. Ini bukan bentuk menyerah, melainkan bentuk kematangan: tahu kapan berhenti untuk memberi kesempatan kepada yang lebih muda.

Namun keputusan ini menyisakan pekerjaan rumah besar bagi PBSI. Ranking dunia tunggal putra Indonesia saat ini masih terpaut jauh dari negara-negara pesaing utama. Nama-nama seperti Shesar Hiren Rustavito, Christian Adinata, Ikhsan Leonardo Rumbay, hingga Iqbal Diaz belum menunjukkan konsistensi performa di level Super Series.

Sosok Alwi Farhan sempat mencuri perhatian publik saat membela Indonesia di Piala Sudirman 2025. Namun harapan itu sempat meredup ketika ia harus mengakui keunggulan Kenta Nishimoto pada babak 16 besar Thailand Open. Ini menunjukkan bahwa mental juara dan konsistensi performa belum sepenuhnya terbentuk dalam diri talenta muda kita.

Fenomena ini mencerminkan urgensi regenerasi yang tidak hanya berbicara soal rekrutmen usia muda, melainkan penyiapan ekosistem pembinaan yang progresif. Regenerasi bukan hasil instan. Ia adalah proses yang harus disiapkan secara fisiologis, teknis, psikologis, dan manajerial. Sayangnya, dalam banyak aspek, sistem pembinaan olahraga kita masih berorientasi pada hasil jangka pendek. Pelatnas Cipayung selama ini terlalu menaruh ekspektasi tinggi pada beberapa nama, sementara fondasi pembinaan usia muda kurang mendapatkan perhatian menyeluruh dalam sains latihan dan manajemen beban latihan.

Dalam paradigma keolahragaan modern, pembinaan atlet elite harus berbasis data dan riset. Tracking biometrik, pemantauan overtraining, hingga psikologi performa harus menjadi pilar utama dalam program latihan. Bukan hanya sekadar jam terbang latihan, tapi juga quality of training yang terukur dan adaptif.

Keputusan Jonatan Christie mundur bisa dijadikan momentum untuk reformasi sistemik. PBSI harus mulai memikirkan transformasi Pelatnas menjadi laboratorium prestasi berbasis ilmu pengetahuan olahraga. Sebab ke depan, atlet elite bukan hanya bertanding dengan skill, tetapi juga dengan teknologi, stamina mental, dan strategi recovery yang superior.

Dari sisi manajemen atlet, Jojo dan Chico bisa menjadi model bagaimana komunikasi terbuka antara atlet dan federasi harus dibangun. Mereka tidak memilih jalan keluar secara diam-diam, melainkan melalui kanal resmi. Ini patut diapresiasi dan menjadi cermin profesionalisme yang sehat dalam dunia olahraga kita.

Di sisi lain, PBSI harus mulai mendesain program talent scouting dan talent acceleration yang masif. Sistem seperti Garuda Select di sepak bola, atau kolaborasi dengan universitas olahraga dunia, harus mulai digagas di bulutangkis. Mimpi emas Olimpiade ke depan tidak bisa lagi hanya dibebankan pada nama-nama lama.

Momentum ini juga harus dimanfaatkan untuk memperkuat pelatihan daerah. Klub-klub daerah, akademi swasta, dan pelatih lokal yang terbukti melahirkan bibit unggul harus dirangkul dan diberi insentif. Jangan sampai Pelatnas menjadi menara gading yang menjauh dari sumber-sumber talenta muda yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia.




HALAMAN :

  1. 1
  2. 2


Mohon tunggu…

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya

Beri Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi
tanggung jawab komentator
seperti diatur dalam UU ITE


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *