Jude Bellingham,
pemuda yang namanya seperti gabungan antara tokoh utama novel perang dan nama stasiun kereta di Inggris, sedang mengalami fase yang tidak begitu menjanjikan dalam kariernya di Real Madrid. Dulu, dia kemas 19 gol dari 28 laga LaLiga. Sekarang, baru delapan gol dari 27 laga. Kalau dikalkulasi dengan rumus eksponensial yang dibuat-buat, penurunannya cocok dijadikan grafik penurunan harga minyak goreng pas Lebaran lewat.
Tapi bukan golnya yang menarik, melainkan nasihat dari Graeme Souness, pria yang kelihatan seperti guru olahraga yang kalau marah langsung lempar peluit ke papan skor. Souness berkata: “Jangan terlalu bijak sampai tak bisa belajar dan mendengarkan.”
Kalimat itu cocok jadi stiker motor trail, caption Instagram motivator, atau judul lagu indie bertema kerohanian. Dan juga cocok untuk banyak orang Indonesia yang merasa sudah lulus kuliah, baca buku Nietzsche sekali, lalu sok tahu soal hidup.
Bayangkan, Jude Bellingham, yang gajinya cukup buat beli ratusan ruko di Makassar, masih harus dinasihati agar jangan terlalu bijak. Sementara kita, yang masih debat di grup WA soal siapa yang lebih bagus: Ronaldo atau Roti Cane, malah sering menutup kuping sambil merasa dunia ini salah, bukan kita.
Souness benar.
Di zaman sekarang, orang pintar makin banyak, tapi yang mau mendengar makin langka. Semua merasa tahu segalanya. Komentar di Twitter isinya kayak skripsi, tapi begitu ketemu orang tua sendiri malah malas jawab salam.
Kita ini suka mengidolakan pemain muda, lalu kecewa ketika mereka tidak seperti tokoh di anime. Jude, dengan segala tekanan dan ekspektasi, adalah representasi dari anak-anak muda yang disuruh cepat sukses, cepat matang, dan cepat naik daun. Kalau bisa, sekalian cepat pensiun kaya.
Tapi manusia bukan nasi goreng. Tidak bisa dimasak cepat pakai api besar. Butuh waktu, proses, dan tentu saja… bumbu. Kritik itu bumbu. Kritik dari pelatih, dari komentator, dari orang tua, dari netizen—semua itu bumbu. Tapi ya jangan kebanyakan micin juga, nanti bego permanen.
Dan lucunya, kadang orang-orang seperti Souness ini lebih peduli pada masa depan Jude ketimbang beberapa fans Madrid yang tiap minggu bikin kompilasi “Bellingham Flop Moments” di TikTok. Begitu pula kita. Kadang yang memberi kritik jujur adalah orang yang benar-benar ingin kita tumbuh, bukan sekadar pansos atau cari views.
Saya jadi ingat nasihat nenek saya: “Orang kalau terlalu bijak, bisa jadi nggak ngerti lagi cara jadi bodoh.” Maksudnya, terlalu sok tahu malah membuat kita enggan belajar, karena merasa sudah tahu semua. Kayak mahasiswa semester akhir yang ogah bimbingan karena yakin dosennya nggak sepintar dia.
Bellingham perlu mendengar.
Kita semua juga. Apalagi di zaman algoritma yang bikin semua orang hanya melihat apa yang ingin dilihat, bukan yang perlu dilihat. Kita butuh disadarkan bahwa tak semua sorakan adalah hinaan, dan tak semua kritik adalah kutukan.