Kompasiana – Indonesia kembali menjadi tuan rumah dalam ajang balap bergengsi Formula E setelah absen pada musim sebelumnya.
Ajang ini bukan hanya sekadar balapan, melainkan juga sebuah kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan keberlanjutan lingkungan serta mendukung masa depan rendah emisi. Hal ini mampu kita lihat dari upaya mereka yang selalu menggandeng ahli jejak karbon yang bertujuan untuk mengukur jumlah karbon setiap selesainya ajang balapan tersebut digelar.
Namun, pertanyaannya: apakah label ‘eco-friendly’ yang melekat pada Formula E benar-benar mencerminkan praktik keberlanjutan, atau hanya sebatas slogan yang terdengar manis di telinga publik?
Komitmen Berkelanjutan
(Kredit: Bayu Pratama S / ANTARA FOTO via Tempo.co)

FEO (Formula E Operations) sebagai penyelenggara resmi, memiliki empat pilar yang menunjukkan tekad mereka dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Yaitu: 1. Excellence, 2. Environment, 3. Equity, 4. Ecosystem.
Formula E juga merupakan ajang balap pertama yang tersertifikasi ISO 20121 dari FIA (Fdration Internationale de l’Automobile). Hal ini memberikan nuansa baru dalam dunia balap, yang mana mengintegrasikan antara teknologi ramah lingkungan dengan dunia pacu.
Tak hanya itu, ajang ini juga menjadi contoh gaya hidup yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan kepada para penonton. Bagaimana tidak, segala fasilitas yang disediakan mencerminkan kepedulian lingkungan, mulai dari alat makan, minum, hingga lahan parkir yang ‘sempit’ bertujuan untuk mendorong para penonton agar menggunakan transportasi umum.
Lebih dari itu, mobil yang digunakan dalam ajang ini, GEN3 Evo, dirancang sedemikian rupa sehingga terbilang ramah lingkungan. Mulai dari baterai yang terbuat dari bahan daur ulang yang bisa digunakan setiap musimnya. Sasis mobil yang dibuat dari kain linen dan serat karbon daur ulang, yang mana bertujuan mengurangi penggunaan bahan mentah baru. Ban mobil yang mengandung 26% karet alami dan serat daur ulang, yang setiap selesai balapan selalu didaur ulang.
Ajang ini juga memperhatikan dampak logistiknya. FEO selaku pihak penyelenggara menggunakan pendekatan multimoda. Yaitu metode pengiriman dengan menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Dalam hal ini, skema transportasi darat dan laut dipilih karena dianggap lebih rendah emisi jika dibandingkan dengan moda transportasi udara.
Berkolaborasi dengan Deutsche Post DHL Group (DHL), keduanya sepakat menggunakan biofuel pada setiap moda transportasi yang mereka pilih. Tak hanya itu, rute pengiriman dipilih sedemikian rupa agar mampu menekan jumlah emisi yang dihasilkan.