Menelusuri sepakbola Indonesia saat ini bagaikan membaca dua bab yang bertolak belakang dalam satu buku. Di halaman pertama, muncul sosok-sosok muda yang seolah menjadi harapan baru: Arkhan Fikri gelandang Arema meraih penghargaan Young Player of the Month tiga kali berturut-turut dari Februari hingga April 2025, lalu dinobatkan sebagai Best Young Player Liga1 dan meraih APPI Indonesian Football Award pada musim 2024–25 . Sementara itu, talenta 15 tahun Arkhan Kaka Putra masuk daftar “60 pemain muda terbaik dunia” versi The Guardian menjadi simbol dari potensi yang bersinar jika dikelola dengan tepat. Namun, kilau prestasi mereka terasa seperti cahaya redup dalam kegelapan sistem yang belum mapan.
Sejauh apa sistem pembinaan kita mampu menyambut dan menjaga talenta-talenta ini agar tetap berkembang? Indra Sjafri sebagai pelatih Timnas U20 tak sungkan menyentil aspek kelemahan timnya ketika kalah 0-3 dari Iran pada pembukaan GrupC Piala Asia U20 2025 di Shenzhen, China. Ia menyoroti kekurangan serius dalam duel udara serta pertahanan bola mati. Kekalahan ini menjadi alarm bahwa pengalaman internasional saja tak cukup, yang dibutuhkan adalah persiapan terstruktur.
Laga berikutnya melawan Uzbekistan, juara bertahan turnamen, kembali menunjukkan Indonesia belum siap. Hasilnya tak terlalu menguntungkan dan posisi tim masih melorot, menandakan persaingan ketat Asia tidak bisa ditaklukkan sekadar modal pengalaman turnamen lokal. Indra Sjafri mengakui analisis mendalam serta evaluasi taktik menjadi kunci persiapan menghadapi lawan tangguh seperti Uzbekistan, namun pertanyaannya mengerucut pada sejauh mana pembinaan di akar rumput mampu mencetak pemain yang terbiasa menghadapi tekanan taktik dan fisik tingkat tinggi.
Sistem kompetisi domestik pun masih menyisakan banyak pertanyaan. Pembentukan Liga3 dan Liga4 serta regulasi pembinaan usia muda seperti pembatasan umur pemain U20/U22, memang menunjukkan arah positif . Namun, implementasi di lapangan belum merata. Banyak klub Liga1 atau Liga2 yang justru lebih memilih membeli pemain siap pakai daripada membangun akademi atau sistem pembinaan jangka panjang. Sering terdengar keluhan netizen tentang “klub hobi”, “liga kompromi”, bahkan “zona mafia” —penilaiannya tajam, karena aspek manajerial dan transparansi finansial masih terlalu rendah.
Keinginan berkolaborasi dengan federasi top dunia seperti Jepang, Belanda, serta program-program pelatihan dari La Liga Asia dan Bundesliga menjadi sinyal positif . Namun, mereka tetap butuh pembumian yang serius: klub kecil dan akademi lokal harus benar-benar bisa merasakan manfaatnya, bukan kecipratan teori di atas kertas konferensi. Infrastruktur stadion misalnya, belum sepenuhnya sesuai standar keamanan FIFA pasca-Tragedi Kanjuruhan, dan hal itu sangat memengaruhi kualitas pertandingan dan keselamatan pemain muda saat tampil dalam kompetisi domestik.
Dalam pengalaman pribadi, penulis menyaksikan bagaimana antusiasme di level akar rumput sangat tinggi. Suasana di SSB, kemeriahan di turnamen usia dini seperti Liga Kompas U14 yang berlangsung selama 15 pekan penuh, menunjukkan kegemaran masyarakat terhadap sepakbola . Namun keramahan di pinggir lapangan tetap harus dirubah menjadi profesionalisme: kejelasan kontrak pemain muda, kualitas wasit, kurikulum pelatihan, hingga keberlanjutan pembiayaan.
Refleksi akhir membawa kita pada kesimpulan sederhana namun mendalam: Indonesia sedang mengandung bintang—bukan matahari. Kita punya sosok berbakat, penghargaan prestisius, dan program-program kolaborasi internasional. Namun tanpa kemampuan membangun struktur yang kokoh secara sistematik termasuk regulasi liga yang adil, manajemen klub transparan, dan infrastruktur berkualitas segala potensi ini bisa sirna sebelum sempat menyala.
Para pengamat sepakbola percaya bahwa masa depan sepakbola Indonesia akan cerah jika kita mau berani memulai dari fondasi: menanam investasi pada talenta muda sejak usia 12–14 tahun, membekali klub kecil dengan sertifikasi manajemen, dan menjadikan insentif akademi sebagai bagian dari syarat lisensi liga. Dengan begitu, bukan sekadar melihat kilau bintang sesaat, melainkan menyinari panggung nasional dengan matahari yang dibuat sendiri.
Sepak bola Indonesia tidak kekurangan cinta, tapi mungkin terlalu banyak kompromi. Sudah waktunya kita menagih janji-janji lama yang tak kunjung ditepati. Jika kita ingin melihat Timnas berdiri sejajar dengan negara-negara besar Asia, maka kita tak bisa lagi menoleransi kekalahan.
Sepak bola adalah mimpi kolektif bangsa ini. Tapi mimpi hanya bisa terwujud jika semua federasi, klub, pelatih, pemain, dan suporter berani berubah. Karena tanpa keberanian untuk berubah, sepak bola Indonesia hanya akan terus menjadi panggung harapan yang terlalu sering mengkhianati mimpi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI