Perjalanan tim nasional U-23 Indonesia menuju ajang ASEAN Cup U-23 2025 tampaknya tak pernah sepi dari drama. Belum genap sehari sejak pemusatan latihan perdana, pelatih Gerald Vanenburg sudah membuat keputusan berani yang sontak menjadi perbincangan hangat: mencoret dua penjaga gawang muda.
Informasi ini, yang dikonfirmasi langsung oleh manajer tim Ahmed Zaki Iskandar, tentu saja memantik tanda tanya besar. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi keputusan cepat ini? Dan, lebih penting lagi, bagaimana ini akan membentuk kekuatan Garuda Muda di turnamen regional tersebut?
Sebagai pengamat sepak bola, saya harus mengakui bahwa langkah Vanenburg ini cukup mengejutkan. Dua nama yang harus angkat koper adalah Husna Al Malik Riwani dari Persik Kediri dan Putra Sheva Sanggasi dari Persib Bandung.
Kedua kiper ini sejatinya sudah tiba di Jakarta dan mengikuti sesi latihan perdana pada Minggu (22/6/2025). Namun, hanya berselang sehari, di sesi latihan kedua yang berlangsung di Stadion Madya, Senayan, Jakarta Pusat, jumlah pemain yang berlatih sudah berkurang menjadi 28 dari total 30 pemain yang dipanggil.
Ini bukan sekadar pengurangan roster biasa; ini adalah pesan tegas dari seorang pelatih yang tahu persis apa yang diinginkannya, bahkan dalam waktu yang sangat singkat.
Keputusan pencoretan dini ini, bagi saya, mengindikasikan standar yang sangat tinggi yang diterapkan oleh Vanenburg. Di posisi kiper, ia memang memanggil enam nama, sebuah angka yang cukup banyak untuk posisi spesialis seperti ini.
Ini menunjukkan bahwa persaingan di bawah mistar gawang sejak awal sudah diproyeksikan akan sangat ketat. Dari enam nama tersebut, empat kiper yang masih bertahan adalah Cahya Supriadi (PSIM Yogyakarta), Erlangga Setyo Dwi (PSPS Pekanbaru), Muhammad Ardiansyah (PSM Makassar), dan Daffa Fasya (Borneo FC).
Keempatnya sudah terlihat berlatih dengan intensitas tinggi, seolah menegaskan bahwa mereka adalah pilihan-pilihan utama yang memenuhi kriteria Vanenburg.
Lantas, apa yang membuat Husna dan Putra Sheva tersingkir begitu cepat? Tanpa berada langsung di lapangan, kita hanya bisa berspekulasi. Namun, dalam sepak bola modern, kemampuan seorang kiper tidak hanya diukur dari reflek dan penyelamatan semata.
Aspek-aspek seperti distribusi bola, pengambilan keputusan dalam situasi satu lawan satu, hingga kemampuan komunikasi dan kepemimpinan di lini belakang menjadi sangat krusial. Bisa jadi, dalam pengamatan singkatnya, Vanenburg melihat ada celah atau kekurangan pada kedua kiper yang dicoret tersebut, yang mungkin tidak sesuai dengan filosofi bermain yang ingin ia terapkan.