oleh: farras arjuna putra mustofa
Sepak bola seharusnya menjadi ajang untuk merayakan kegembiraan, persatuan, dan semangat sportivitas. Namun kenyataannya, di Indonesia, olahraga ini kerap kali berubah menjadi panggung kekerasan, pertikaian, dan kesedihan. Lagi-lagi kita dihadapkan pada kenyataan pahit, di mana rivalitas antar suporter justru menimbulkan korban jiwa. Pertanyaan besar yang muncul adalah, sampai kapan fenomena ini akan terus terjadi?
Kericuhan yang melibatkan suporter sepak bola sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Setiap tahunnya, daftar peristiwa kelam terus bertambah. Banyak yang mengalami luka, bahkan ada yang harus kehilangan nyawa hanya karena mengenakan atribut klub tertentu atau tidak sengaja melewati area yang menjadi wilayah kelompok suporter lawan. Ironisnya, olahraga yang seharusnya menjadi pemersatu, justru malah menjadi pemecah belah.
Akar masalah yanh belum terpecahkan
Jika kita telusuri lebih dalam, persoalan rivalitas yang berujung pada kekerasan ini memiliki akar yang cukup rumit. Fanatisme yang berlebihan menjadi salah satu faktor utama. Mencintai klub sepak bola adalah sesuatu yang wajar, bahkan bisa menjadi sumber kebanggaan dan identitas bagi banyak orang. Namun, ketika rasa cinta itu berubah menjadi kebencian yang membabi buta terhadap kelompok lain, maka di situlah masalah mulai muncul.
Lebih parahnya, budaya fanatisme ini seringkali dipelihara dalam lingkungan yang kurang edukatif. Tidak sedikit kelompok suporter yang mewarisi cerita-cerita lama tentang permusuhan, dendam, dan kehormatan kelompok yang harus dipertahankan. Narasi seperti ini menjadi bahan bakar bagi generasi muda untuk meneruskan siklus kekerasan yang seolah tidak ada habisnya.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga turut memperparah situasi. Tidak adanya tindakan tegas kepada pelaku kekerasan membuat mereka merasa tidak takut dan bebas mengulangi perbuatannya. Hukuman yang diberikan pun seringkali tidak memberi efek jera.
Minim nya peran club dan pengelola liga
Faktor lain yang juga tidak bisa diabaikan adalah minimnya perhatian dari klub dan pengelola liga terhadap pembinaan suporter. Banyak klub yang hanya berfokus pada performa tim tanpa memperhatikan bagaimana perilaku dan mentalitas pendukungnya. Padahal, mendidik suporter adalah bagian penting dari pembangunan klub secara menyeluruh.
Di sisi lain, pihak pengelola liga pun masih kurang serius dalam menerapkan aturan yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan pertandingan. Jadwal pertandingan yang tidak mempertimbangkan potensi bentrokan antar-suporter, pengamanan yang tidak memadai, hingga tidak adanya langkah antisipasi yang jelas menjadi bukti bahwa manajemen sepak bola Indonesia masih lemah.
Peran media yang memperkeruh suasana