Gelaran Piala Presiden 2025 menghadirkan beragam warna menarik. Mulai dari kehadiran tim luar negeri, jumlah tim peserta yang minimalis, sampai adanya tim “all star”, yang terdiri dari pemain-pemain lokal Liga 1 pilihan suporter.
Warna-warna ini terlihat menarik, karena membawa kesan segar. Ada juga sedikit harapan, karena klub luar negeri bisa datang ke Indonesia tanpa masalah.
Jika mampu meningkatkan kualitas birokrasi dan keamanan secara konsisten, bukan tidak mungkin Piala Presiden 2025 menjadi titik awal. Tidak menutup kemungkinan, tim-tim besar Eropa akan melihat ini sebagai nilai plus, dan mempertimbangkan Indonesia sebagai lokasi tujuan tur di masa depan.
Sayangnya, di balik berbagai kesan positif ini, terpotret juga kualitas permainan tim dan pemain Liga Indonesia yang masih kurang.
Terlepas dari fakta bahwa ini turnamen pramusim, lolosnya dua tim luar negeri, yakni Port FC (Thailand) dan Oxford United (Inggris) ke final menunjukkan, seberapa jauh stagnasi kualitas di Liga Indonesia.
Masalahnya juga masih relatif sama: kerja sama tim belum padu, kualitas lapangan kurang bagus, permainan keras menjurus
kasar, dan kecepatan tanpa kontrol efektif.
Ini belum termasuk stamina yang rawan kendor di babak kedua, dan insiden mati lampu di Stadion Si Jalak Harupat, dalam laga Oxford United Vs Arema.
Sebuah ketinggalan yang secara jujur menjelaskan, kenapa AFC menempatkan Liga Indonesia di peringkat 25 dari 47 liga domestik di Asia, untuk periode musim 2024-2025.
Ironisnya, performa kurang maksimal tim-tim lokal di Piala Presiden seolah juga menjelaskan, kenapa PSSI punya ide menambah kuota pemain asing menjadi 11 orang per tim.
Ada urgensi menaikkan peringkat liga secepat mungkin, yang jelas tak bisa dilakukan, jika hanya mengandalkan materi pemain lokal.