Panggung MotoGP selalu menyuguhkan drama tiada henti. Musim ini, sorotan tajam tertuju pada garasi Ducati, di mana dua nama besar, Marc Marquez dan Francesco Bagnaia, menampilkan performa yang kontras namun sama-sama mengundang decak kagum sekaligus pertanyaan.
Di satu sisi, Marc Marquez seperti terlahir kembali, menemukan kembali magisnya di atas motor yang baru. Di sisi lain, sang juara bertahan, Francesco Bagnaia, terlihat masih berjuang mencari konsistensi yang dulu menjadi ciri khasnya.
Analisis Davide Tardozzi, manajer tim Ducati Lenovo, menguak tabir di balik penampilan kedua pembalap ini, membuka diskusi tentang siapa yang sesungguhnya memegang kendali atas dominasi Ducati di trek balap.
Performa Marquez di Belanda sungguh memukau. Finis pertama adalah bukti nyata adaptasi luar biasanya. Tardozzi tak sungkan memuji kemajuan Marquez, bahkan menyebutnya sebagai ancaman serius bagi para pesaing di setiap sirkuit.
Ada semacam koneksi istimewa yang terjalin antara Marquez dan motornya, sebuah sinergi yang memungkinkannya bekerja secara harmonis dengan para teknisi.
Kemampuan analisis dan adaptasi yang dimiliki Marquez menjadikannya aset tak ternilai. Ini bukan sekadar tentang kecepatan, melainkan tentang kecerdasan balap yang mumpuni.
Dia mampu mengurai masalah di atas trek, memberikan masukan akurat kepada tim, dan beradaptasi dengan cepat terhadap setiap perubahan kondisi. Inilah yang membuatnya semakin berbahaya, bahkan setelah melewati masa sulit akibat cedera.
Kepercayaan diri yang didapatkannya seolah menjadi bahan bakar baru, mendorongnya untuk terus menorehkan prestasi gemilang.
Namun cerita berbeda datang dari sisi Bagnaia. Meskipun finis ketiga di Belanda, Tardozzi mengakui bahwa Pecco belum menemukan konsistensi yang krusial di titik-titik tertentu balapan.
Ada sesuatu yang menghalangi Pecco untuk mengeluarkan potensi terbaiknya, sebuah kerikil kecil yang mengganjal laju sang juara. Ini bukan tentang kekurangan bakat atau kecepatan.