Dalam catatan sejarah bulu tangkis Indonesia, Indonesia Open selalu menjadi momen penting pembuktian supremasi kekuatan nasional. Namun, memasuki edisi Indonesia Open Super 1000 pada 3–8 Juni 2025, ada kekhawatiran besar. Indonesia berpotensi mengalami sejarah terburuknya, bukan hanya karena hasil tahun ini yang belum menggembirakan, tetapi karena gejala tren penurunan performa yang belum tertahan.
Sepanjang paruh pertama tahun 2025, Indonesia mengalami paceklik gelar pada level elite turnamen BWF World Tour. Hanya dua gelar yang berhasil dibawa pulang, itupun dari ajang Super 300, yang secara kualitas peserta tidak sekompetitif level Super 500 ke atas. Gelar itu diraih Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti di Thailand Masters dan Jafar Hidayatullah/Felisha Pasaribu di Taipei Open. Selebihnya, catatan Indonesia kosong.
Kegagalan demi kegagalan mewarnai kiprah skuad Merah Putih di All England, Malaysia Masters, Thailand Open, Singapore Open, hingga Taipei Open. Bahkan di turnamen beregu Piala Sudirman, meski menunjukkan semangat juang dan perbaikan kolektif, hasil akhirnya tetap belum sesuai ekspektasi publik pencinta bulu tangkis untuk menduduki final.
Dalam konteks manajemen olahraga modern, kegagalan beruntun seperti ini tak bisa hanya dijustifikasi sebagai faktor “kejenuhan siklus” atau “naiknya kualitas lawan”. Justru, era saat ini menuntut organisasi olahraga nasional untuk proaktif dalam membangun sistem deteksi dini atas penurunan performa secara menyeluruh. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dari panggung yang dulu kita kuasai.
Kita pernah jadi raja di panggung bulu tangkis dunia, tapi kejayaan masa lalu tak bisa jadi tameng selamanya. Jika tak berani berubah, kita akan terus jadi penonton sejarah. Bangkit bukan pilihan, tapi keharusan!
Indonesia Open 2025 tak sekadar turnamen, melainkan titik balik mental dan teknis yang akan menentukan apakah tahun ini benar-benar menjadi tahun kelam bagi bulu tangkis Indonesia. Jika gagal total di kandang sendiri, publik bukan hanya kecewa tetapi bisa jadi kehilangan kepercayaan pada arah pembinaan jangka panjang PBSI.
Koreksi menyeluruh sangat mendesak, bukan hanya dalam bentuk evaluasi pelatih atau rotasi pemain, melainkan pembaruan menyeluruh atas pendekatan pelatnas yang selama ini terkesan seragam, monoton, dan kurang memberi ruang pada pendekatan sport science yang lebih mutakhir.
Di negara-negara maju badminton seperti China, Jepang, hingga Korea Selatan, pembinaan elite saat ini tidak lagi mengandalkan intuisi pelatih semata. Mereka sudah menanamkan sistem manajemen beban latihan berbasis biometrik, pelacakan performa menggunakan perangkat wearable canggih, serta analisis statistik taktis berbasis AI untuk membaca pola lawan.
Di Indonesia, teknologi seperti ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pelatnas. Bahkan, beberapa pelatih masih mengandalkan metode klasik berbasis pengalaman masa lalu tanpa pembaruan data dan tren permainan global. Hal ini jelas menjadi hambatan serius dalam menciptakan atlet yang adaptif dan resilien.
Selain itu, pola rotasi turnamen juga perlu ditinjau ulang. Banyak pemain Indonesia terlihat kelelahan akibat jadwal padat tanpa manajemen pemulihan yang optimal. Padahal, salah satu kunci sukses di era badminton modern adalah pengelolaan energi dan konsistensi fokus, bukan sekadar memperbanyak keikutsertaan turnamen.
Mentalitas bermain pun menjadi sorotan. Terlalu banyak momen di mana pemain Indonesia unggul dalam gim pertama, namun kehilangan arah di gim berikutnya. Ini bukan sekadar soal stamina, tapi soal fokus, adaptasi taktik, dan keberanian membuat keputusan dalam tekanan, semua ini bisa dikembangkan lewat pelatihan psikologi olahraga yang sistematis.