Pekan ke-33 Liga 1 2024/2025 seharusnya jadi momen pertarungan hidup dan mati bagi Barito Putera. Mereka bermain di kandang sendiri, Stadion Demang Lehman yang selalu mereka banggakan. Namun sore itu, stadion yang biasanya jadi benteng berubah jadi saksi bisu dari sebuah pelajaran: kekalahan 1-4 dari PSM Makassar, tim yang tak kenal kompromi meski tak lagi berburu gelar.
Apa makna dari kekalahan ini? Sekilas, ini hanyalah hasil pertandingan. Tapi jika kita telusuri lebih dalam, pertandingan ini adalah miniatur dari bagaimana sepak bola Indonesia terus menghadirkan kejutan, drama, dan renungan yang jauh lebih luas daripada sekadar angka di papan skor.
Tajam Karena Lapar, Bukan Karena Gelar
PSM Makassar mungkin sudah tak bersaing memperebutkan trofi musim ini, namun semangat bermain mereka di laga ini bak tim yang tengah bertarung untuk hidup. Di bawah kendali pelatih Bernardo Tavares, tim berjuluk “Juku Eja” tampil disiplin, penuh determinasi, dan memainkan transisi menyerang yang presisi.
Setelah tertinggal lebih dulu, PSM menunjukkan jati dirinya. Empat gol mereka bukan sekadar respons teknis, tapi juga bentuk karakter kolektif: tidak menyerah, percaya diri, dan tahu kapan harus menekan. Pemain muda seperti Ramadhan Sananta kembali jadi pembeda. Gol-golnya bukan sekadar angka, tapi representasi dari regenerasi sepak bola nasional yang mulai menunjukkan bentuk.
“Kami datang ke sini dengan respek, tapi juga dengan tekad penuh. Kami ingin menutup musim ini dengan kepala tegak,” ujar Tavares dalam konferensi pers pascalaga (sumber: Bola.net, 17 Mei 2025).
Di Ambang Jurang, Tapi Masih Punya Asa
Sementara PSM naik ke posisi keempat dan mengamankan slot Asia, nasib Barito Putera jauh lebih kompleks. Kekalahan ini menahan mereka di peringkat ke-16, tepat di atas garis maut degradasi. Dengan hanya satu pertandingan tersisa, tekanan semakin menggigit.
Yang membuatnya tragis, Barito sempat unggul lebih dulu. Namun seperti yang sering terjadi di sepak bola, unggul lebih dulu tak menjamin apa pun jika mental bertanding tak dipelihara hingga akhir. Ini bukan hanya tentang taktik yang goyah, tapi juga tentang psikologi kolektif tim yang mudah limbung ketika dihantam arus balik.
Beberapa suporter menyuarakan keresahan mereka lewat media sosial:
“Barito itu seperti punya rumah, tapi gentengnya bolong, lantainya retak, dan lampunya mati. Kita nggak tahu harus mulai dari mana dulu benahinnya,” tulis akun @LaskarAntasari_1949 di Twitter (X).