Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Pemeo ini harusnya berlaku juga di dunia olahraga. Sayangnya itu belum terjadi di Indonesia. Pasalnya, masih sering terdengar kasus pahlawan-pahlawan olahraga kita yang dielu-elukan semasa jayanya, tapi kini merana dan menjalani hidup terlunta-lunta. Survey litbang Kompas pada 2021 saja menunjukkan 63,5% dari 330 atlet dan mantan atlet mengaku tidak sejahtera secara keuangan. Pada 2021 juga kita sempat mendengar atlet badminton putri legendaris Verawati Fajrin yang kesulitan mendanai pengobatan untuk penyakit paru-paru beliau.
Jelas, kondisi semacam ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, pengabaian nasib mantan atlet kita sesudah mereka tak lagi berjaya sama saja pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang kita junjung tinggi. Apalagi nilai kemanusiaan dikukuhkan di dalam sila kedua dasar negara kita, Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Skema pengaman sosial
Oleh karena itu, para stakeholders dunia olahraga, utamanya pemerintah yang diwakili Kemenpora, perlu mengantisipasi munculnya atlet-atlet bernasib tragis lainnya di masa depan. Skema jaring pengaman sosial (social safety net) menjadi niscaya sebagai aksi nyata yang perlu dipikirkan serius. Sebagai sumbangsih ide, setidaknya ada sejumlah hal yang bisa dikerjakan.
Pertama, sudah jamak bahwa pemerintah, para sponsor, atau simpatisan memberikan bonus sebagai bentuk apresiasi bagi prestasi yang sudah diraih para insan olahraga kita. Ini tentu satu langkah awal yang bagus tapi belum cukup. Pasalnya, bisa saja atlet yang bersangkutan tidak cakap mengelola bonus yang diberikan atau berhorison waktu pendek dalam pengelolaan finansial mereka sehingga nantinya mereka akan menderita di masa tua. Karena itu, perlu ada langkah berikutnya.
Kedua, para pemberi bonus seyogianya tidak memberikan bonus itu secara lump sum alias langsung dalam bentuk tunai (hard cash). Sebaiknya, bonus dialokasikan secara skematis dalam beberapa porsi. Sebagai contoh, skema itu bisa berbentuk sebagai berikut. Bonus berupa uang tunai tetap diberikan tapi cukup sebagian saja. Sementara itu, sisanya bisa dialokasikan lagi pada tiga pos. Satu bagian yang diberikan dalam bentuk premi jaminan kesehatan nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Lantas, satu bagian lagi dialokasikan untuk pembayaran premi kepesertaan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan Bukan Penerima Upah (BPU) yang premi minimalnya cukup murah dari Rp 16.800 per bulan.
Terakhir, satu bagian tersisa dibayarkan sebagai premi tunggal asuransi jiwa berbalut investasi (unit-link). Sekadar informasi, unit-link adalah asuransi yang memberikan santunan kepada tanggungan untuk berbagai malapetaka yang menimpa pemegang polis sekaligus mengalokasikan sebagian premi untuk membeli unit investasi yang berfungsi sebagai tabungan untuk dicairkan sewaktu-waktu (Security for Life, Fuad Usman dan M. Arief, 2003).
Dengan skema ini, semoga kita tidak lagi perlu terpana menyaksikan nasib nestapa para pahlawan olahraga kita!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI