Performa Real Madrid di musim ini bisa diibaratkan seperti benteng tua yang masih megah, namun mulai memperlihatkan retakan-retakan di dindingnya. Meskipun berhasil finis di posisi kedua La Liga dengan 84 poin, klub mengalami kekecewaan di berbagai kompetisi: tersingkir di perempat final Liga Champions oleh Arsenal, kalah di final Copa del Rey dari Barcelona, dan mengalami kekalahan dalam semua empat El Clásico musim ini . Kepergian pelatih Carlo Ancelotti dan gelandang veteran Luka Modrić menandai akhir dari era kejayaan sebelumnya. Namun di balik kekecewaan tersebut, tersimpan pertanyaan besar tentang masa depan klub: apakah Real Madrid masih mengandalkan kejayaan masa lalu, atau sedang mempersiapkan regenerasi yang belum matang?
Musim yang Menang, Tapi Tidak Meyakinkan
Madrid menjalani musim ini dengan berbagai paradoks. Gaya bermainnya dianggap membosankan dan tidak progresif. Terlalu mengandalkan pengalaman Kroos dan Modric, terlalu sering berharap pada momen magis dari Bellingham atau Vinicius. Ketika melawan tim-tim besar seperti Manchester City atau Bayern, kekurangan dalam transisi, kecepatan bek sayap, dan kurangnya variasi serangan menjadi sangat terlihat.
Di lini belakang, absennya Thibaut Courtois hampir sepanjang musim membuat Madrid rapuh, meskipun Lunin tampil cukup solid. Di lini depan, absennya striker murni menjadi beban tersendiri. Mbappe memang tajam dalam momen tertentu, tapi tidak punya karakter sebagai striker utama Madrid. Transisi ke generasi baru pun terasa pincang: pemain muda seperti Arda Güler, Brahim Díaz, dan Camavinga belum mendapat konsistensi menit bermain yang cukup untuk benar-benar berkembang.
Solusi Jangka Panjang: Xabi Alonso dan Revolusi Identitas
Masuknya Xabi Alonso sebagai pelatih musim depan adalah langkah besar yang bisa menjadi penentu arah klub. Alonso, dengan kesuksesannya di Bayer Leverkusen, bukan hanya membawa filosofi permainan baru yang progresif dan modern, tetapi juga pemahaman mendalam tentang budaya Real Madrid. Ia adalah simbol transisi: dari generasi Galacticos ke generasi taktis dan efisien.
Alonso dikenal menerapkan sistem build-up berbasis kontrol ruang, pressing tinggi, dan keseimbangan antara kreativitas individu dan struktur kolektif. Ini sangat kontras dengan pendekatan Ancelotti yang lebih fleksibel tapi kurang intens. Tantangannya adalah bagaimana mentransformasi Real Madrid yang berisi banyak “bintang mapan” menjadi tim yang dinamis dan progresif.
Trent Alexander-Arnold: Bek Sayap atau Gelandang Terselubung?
Rencana kedatangan Trent Alexander-Arnold (TAA) membuka babak baru di lini belakang Madrid. TAA bukanlah bek kanan konvensional. Ia lebih mirip gelandang kreatif yang bermain melebar. Dalam sistem Xabi Alonso, ini bisa menjadi keuntungan besar. TAA bisa bermain sebagai inverted fullback, masuk ke lini tengah saat menyerang, dan menciptakan kelebihan pemain di area tengah.
Namun ada pula risiko: TAA kerap dikritik karena lemahnya transisi bertahan. Jika Madrid gagal mengimbangi gaya bermainnya dengan sistem pertahanan yang solid, sisi kanan Madrid bisa menjadi titik rawan. Karena itu, penting bagi Madrid untuk memiliki DM (defensive midfielder) yang mampu menutup celah saat TAA naik ke atas, seperti Aurelien Tchouaméni.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI