Metafora anggur tua
Benih anggur itu ditanam di halaman parkir sebuah gedung penampungan, disemai bersama benih-benih anggur lainnya dari rombongan pengungsian perang Yugoslavia. Ia menolak layu meski dipupuk ledakan granat dan disiram butiran-butiran peluru yang berseliweran dari langit Vukovar sampai Laut Dalmatia. Ia lalu dibawa ke Zagreb, kemudian dijual ke London dengan asa akan menjadi angur yang bagus di sana.
Di London, ia termasuk anggur yang nikmat. Sayangnya, ia tak jatuh di tangan peracik anggur yang handal. Ia seperti anggur-anggur pada umumnya, punya ciri khas, tetapi yang punya ciri yang sama itu banyak. Ia tidak terlalu menonjol, tapi juga tidak terlalu buruk. Bahkan, ia pun kalah pamor dibanding anggur dari Wales, Perancis, Inggris, atau Brasil.
Lalu seorang peracik anggur dari Setubal, yang tak pandai merawat benih tetapi jago meracik anggur yang enak (baca: Jose Mourinho), segera membawanya ke Madrid. Yah, Madrid, surganya anggur-anggur mahal dan mewah. Mulanya ia kesulitan menembus etalase utama, bahkan sempat masuk daftar pembelian anggur terburuk.
Namun, berkat peningkatan kualitas, transformasi rasa, dan konsistensi aroma, juga disokong peracik-peracik handal, anggur itu menjadi salah satu anggur paling nikmat di dunia.
Anggur yang enak memang luar biasa, tetapi anggur yang makin tua makin enak adalah istimewa. Anggur tua itu, Luka Modric, telah memabukkan penonton dengan militansinya di atas lapangan, serentak menghilangkan ingatan penikmat sepakbola akan berapa angka usianya.
Dari Mestala ke La Cartuja
Di La Cartuja, Minggu yang lalu (27/5/25), kita menyaksikan Modric sebagaimana Modric yang kita kenal. Ia masih hebat menjaga bola, lincah menutup ruang dan memotong aliran bola dari lawan, pun kuat dalam bertahan dan menyerang. Staminanya juga masih bagus untuk berlari dan menekel lawan, meski ia tidak bermain penuh sembilan puluh menit. Visi bermainnya pun masih bagus, pun aktif mengomandoi ‘anak-anaknya’: Tchouameni, Valverde, Bellingham, Rodrygo, Asencio, Vini, dan lainnya.
Permainan di La Cartuja pekan lalu itu umumnya tidak jauh berbeda dengan permainannya sebelas tahun lalu, di Mestala, final Copa del Rey, melawan Barcelona. Modric menjadi satu-satunya pemain yang masih tersisa dari laga El Clasico pada 2014 lalu itu. Bedanya, Modric bermain fullĀ 90 menit. Ia bermain apik, meski yang dibicarakan orang adalah sprint Gareth Bale, mantan rekannya di London.
Konsistensi Modric yang masih tampil dalam level tertinggi sampai saat ini membuat bapak tiga anak ini seperti segelas anggur yang makin nikmat meski dimakan usia. Ketika Modric bermain di Mestalla, dari para semua pemain Barcelona dan Real Madrid yang bermain di final Minggu lalu itu, barangkali hanya Thibaut Courtois yang sudah bermain di liga kompetitif. Sisanya masih merangkak di akademi dan belum bermain di kasta tertinggi!