Kalau saja status Instagram Ketua Umum PSSI Erick Thohir tidak melintas di timeline saya, maka saya tidak akan mengetahui apalagi mengingat bahwa pada hari ini 19 April 2025, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia atau PSSI berulang tahun yang ke-95.
Dibentuk pada 19 April 1930 di Yogyakarta, ternyata awalnya organisasi bola ini bukan sekedar mengurusi bola. Oleh pendiri utamanya, Ir. Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang tinggal di Eropa, dan tokoh nasional serta aktivis olahraga, PSSI dibangun dengan visi besar: membangun jati diri bangsa lewat sepak bola, di tengah penjajahan Belanda.
Saat itu, sepak bola bukan hanya soal mencetak gol, tapi juga bentuk perlawanan terhadap dominasi kolonial. Stadion jadi ruang perjuangan, dan PSSI jadi simbol pergerakan.
Menariknya, meski masih berada di bawah penjajahan Belanda, pada 1938 Indonesia lolos ke Piala Dunia. Namun karena bersitegang dengan NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta, PSSI urung mengirimkan tim PSS dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA. Itulah sekali-sekalinya “Indonesia” ikut Piala Dunia sepak bola.
Kini, di usia yang nyaris seabad ini, PSSI masih terus berjuang menjadi simbol dari harapan, semangat, dan perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam menjadikan sepak bola sebagai salah satu alat pemersatu dan kebanggaan nasional.
Meski prestasi sepak bola Indonesia naik-turun, rasa cinta publik pada Timnas Indonesia tak pernah padam. Dari euforia SEA Games sampai harapan besar ke Piala Asia dan bahkan Piala Dunia, kita semua selalu punya alasan untuk berharap. Berharap Indonesia menjadi salah satu peserta putaran final Piala Dunia.
Oleh karena itu, ulang tahun ke-95 PSSI menjadi momen penting. Bukan hanya untuk nostalgia sejarah dan sekedar seremonial perayaan, tapi juga ajakan serius untuk menata ulang masa depan.
Perayaan ulang tahun ini harus dijadikan momentum untuk melakukan konsolidasi, memperkuat pembinaan usia dini, menata kompetisi secara adil, dan memastikan tata kelola organisasi yang transparan dan berorientasi pada prestasi.
Karena mimpi kita membangun jati diri bangsa lewat sepak bola, harus diwujudkan dengan tampil bagus, bukan hanya di Asia Tenggara, tapi menembus panggung dunia.
Bahwa untuk menembus panggung dunia, pengurus sekarang seperti mendahulukan naturalisasi pemain asing, semoga tidak menjadi bagian dari program besar pembangunan sepak bola nasional.