Timnas Indonesia harus mengakui keunggulan Australia dalam lanjutan Grup C ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Bertandang ke Sydney Football Stadium pada Kamis (20/3/2025) petang WIB, Skuad Garuda takluk dengan skor telak 1-5 dari tim tuan rumah. Hasil ini sekaligus menjadi pukulan berat bagi langkah Indonesia yang tengah berjuang menjaga asa lolos ke putaran selanjutnya.
Sebagai penonton sepak bola Indonesia, saya selalu berusaha menjaga ekspektasi. Bukan karena pesimis, tapi karena sudah terlalu sering dibentuk oleh harapan, lalu dihancurkan oleh kenyataan. Setiap kali Timnas tampil, selalu ada harapan besar yang menggantung: “Kali ini pasti berbeda.” Tapi nyatanya, kita masih sering jatuh di lubang yang sama … pertahanan yang keropos, eksekusi yang ragu-ragu, dan mental yang tidak stabil saat tekanan datang.
Lalu datanglah pertandingan melawan Australia dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026. Pertandingan yang sejatinya bisa menjadi pembuktian. Tapi alih-alih kejutan, kita pulang membawa lima gol di gawang sendiri. Dan yang paling menyakitkan bukan hanya skor 1-5 itu, tapi rasa deja vu … bahwa kita pernah kecewa seperti ini, dan mungkin akan kecewa lagi dengan pola yang sama.
Namun saya sadar, terlalu mudah menyalahkan pemain. Mereka sudah berjuang. Terlalu sederhana jika hanya menunjuk pelatih. Dia juga baru datang. Justru di sinilah pertanyaan penting muncul:
“Apa benar ini cuma soal sepak bola? Atau ada yang lebih dalam dari itu?”
Karena dalam setiap kekalahan, kadang tersimpan potret utuh dari sistem yang lebih besar. Dari cara kita mengelola energi … baik di lapangan maupun di kehidupan nyata. Dari cara kita mengurus organisasi, menyusun strategi, hingga cara kita menaruh harapan.
Tulisan ini tidak sedang ingin mencari kambing hitam, apalagi menambah bisingnya ruang komentar. Tapi saya ingin mengajak kita semua melihat kekalahan ini sebagai cermin. Bukan hanya tentang permainan 90 menit, tapi tentang sistem yang menopangnya. Dari lapangan, ke tribun, ke ruang rapat, bahkan ke urusan bahan bakar dalam negeri.
Kalau Pertamax Dioplos, Gimana Mau Lolos?
Indonesia memang kalah telak. Tapi kita bangsa pemaaf. Gagal penalti? Kita bilang, “Namanya juga belum rezeki.” Kebobolan lima gol? Kita komentar, “Yang penting pemain sudah berjuang.” Di lini medsos, kritik keras bisa tiba-tiba berubah jadi semangat. Kita tahu kecewa, tapi lebih sering memilih untuk menerima.
Dan itu baik … asal tidak membuat kita lupa bahwa memaafkan harus diiringi evaluasi.
Kita juga bangsa yang kuat dalam satu hal lagi: melucu. Kok bisa?
Ketua Umum PSSI adalah Menteri BUMN. Di saat yang sama, publik sedang heboh soal isu Pertamax dioplos jadi Pertalite. Nah, ini menarik. Jangan-jangan penyebab stamina pemain cepat habis bukan cuma soal latihan atau taktik, tapi… karena bahan bakarnya nggak murni? Gimana mau ngegas 90 menit kalau isi ototnya oktannya campuran?
Australia main seperti truk trailer turbo, sementara kita mirip sepeda listrik low-batt. Setelah penalti gagal di awal laga (yang seharusnya bisa jadi semangat), justru mental kita langsung goyah. Serangan balik Australia terasa seperti invoice tagihan PLN: cepat, menghantam, dan tak bisa dihindari. Duarrr! Lini belakang kita? Sibuk menyesuaikan posisi seperti karyawan BUMN saat rotasi jabatan … bingung, kaget, dan sering terlambat ambil keputusan.