Dua raksasa Eropa, satu tiket ke babak berikutnya. Man City dan Real Madrid terjebak dalam pertarungan hidup dan mati di Liga Champions. Siapa yang akan bertahan, siapa yang bakal tumbang?
Di era sepak bola modern, rivalitas Manchester City dan Real Madrid telah menjadi tontonan wajib di Liga Champions. Dalam empat musim terakhir, keduanya selalu bertemu di babak gugur. Namun, ada perbedaan besar kali ini—pertarungan mereka bukan untuk menuju puncak, melainkan demi sekadar bertahan di kompetisi!
Bagaimana bisa dua raksasa sepak bola Eropa ini sampai di titik ini? Apa yang salah di balik layar?
Man City: Dominasi yang Mulai Retak
Manchester City memasuki musim ini sebagai juara bertahan Liga Champions, tetapi musim mereka jauh dari kata ideal. Mereka nyaris gagal lolos ke babak gugur setelah kemenangan dramatis di laga terakhir melawan Club Brugge.
Apakah ini kesalahan mereka sendiri? Sebagian besar, iya.
Pep Guardiola memiliki kesempatan untuk memperkuat tim di musim panas, tetapi keraguannya soal masa depan membuatnya menunda pergerakan. Di tengah spekulasi bahwa ia akan mengambil alih Timnas Inggris, Guardiola ragu-ragu dalam membangun skuadnya. Pada akhirnya, ia memutuskan bertahan, tetapi dampaknya sudah terasa.
Pada November, City masih perkasa di puncak Liga Primer dan tak terkalahkan di lima liga top Eropa. Namun, badai cedera mulai melanda. Rodri mengalami cedera ligamen, dan penggantinya—Manuel Akanji serta John Stones—ikut tumbang. Phil Foden kehilangan ketajamannya, Kevin De Bruyne kesulitan menjaga konsistensi, dan Jack Grealish belum menunjukkan performa terbaiknya.
Hasilnya? City mulai kehilangan taji. Kekalahan telak dari Arsenal 1-5 menjadi bukti bahwa skuad mereka tidak sekuat musim lalu.
Guardiola: Berjuang dengan Tim dan Dirinya Sendiri
Di balik layar, Guardiola mengalami dilema. Ia akhirnya menandatangani perpanjangan kontrak satu tahun, tetapi dengan kondisi fisik yang tak prima akibat tekanan yang luar biasa.