Tanpa mengurangi rasa hormat dan berduka saya terhadap para keluarga korban dari tragedi tersebut, saya menulis tulisan ini sebagai bentuk perlawanan saya terhadap regulasi yang menurut saya sudah tidak relevan untuk saat ini.
Larangan suporter tandang (away) masih diberlakukan oleh PSSI dengan alasan keselamatan dan sebagai bentuk penghormatan terhadap tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Namun, apakah alasan tersebut masih relevan dengan realitas hari ini?
Sudah hampir dua tahun sejak tragedi tersebut mengguncang dunia sepak bola Indonesia. Tragedi yang menelan 135+ korban jiwa itu memang seharusnya menjadi titik balik perbaikan sistem keamanan di stadion. Namun, menjadikan tragedi tersebut sebagai alasan berlarut-larut untuk melarang kehadiran suporter tandang justru terkesan tidak menyelesaikan masalah secara struktural.
Faktanya, dalam beberapa pertandingan di Liga 1 dan Liga 2, kelompok suporter sudah banyak yang melakukan away secara mandiri dan berlangsung tertib. Tidak ada gesekan, tidak ada kerusuhan, dan bahkan banyak momen yang menunjukkan persaudaraan antarsuporter. Bukankah ini bukti bahwa suporter Indonesia sudah jauh lebih dewasa?
Larangan yang tidak dibarengi evaluasi objektif dan terbuka justru berpotensi menjadi bentuk pembungkaman terhadap ruang ekspresi publik. Sepak bola adalah milik bersama. Suporter adalah nyawa dari pertandingan. Menjauhkan mereka dari atmosfer stadion tandang hanya akan mengurangi semangat sportivitas dan euforia yang seharusnya dirayakan.
PSSI seharusnya memulai pendekatan berbasis data dan evaluasi lapangan, bukan sekadar simbolik atau trauma yang tak kunjung diselesaikan secara menyeluruh. Kalau memang alasan keselamatan yang digunakan, maka sudah seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem keamanan stadion, manajemen massa, serta kerja sama dengan aparat kepolisian.
Jangan sampai larangan ini justru menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap federasi sendiri. Apalagi jika di sisi lain, kelompok-kelompok suporter justru lebih mampu menunjukkan sikap tertib dan damai ketimbang narasi yang dibangun oleh otoritas.
Banyak kelompok suporter telah bertransformasi menjadi komunitas yang lebih sadar akan peran dan tanggung jawabnya. Mereka mulai mengedepankan solidaritas, aksi sosial, edukasi internal, bahkan menjadi pengawas bagi anggotanya sendiri. Dalam konteks ini, alangkah baiknya jika PSSI tidak terus-menerus menggeneralisasi perilaku suporter berdasarkan masa lalu, melainkan memberi kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan perubahan nyata.
Kenyataan bahwa suporter tetap melakukan away secara diam-diam juga menunjukkan bahwa larangan ini hanya efektif secara administratif, tapi tidak secara substansial. Bukankah lebih baik jika aktivitas away ini dilegalkan kembali namun dengan mekanisme pengawasan ketat, termasuk melalui sistem tiket resmi, pendampingan keamanan, serta koordinasi antara klub, panitia pelaksana, dan pihak berwajib?
Perlu diingat bahwa away days bukan sekadar datang menonton pertandingan. Itu adalah bentuk dedikasi, loyalitas, dan identitas komunitas suporter. Dengan mengatur, bukan melarang, PSSI justru bisa membangun budaya tandang yang aman, sehat, dan membanggakan seperti yang dilakukan banyak negara lain di dunia sepak bola modern.
Jangan sampai larangan ini justru menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap federasi sendiri. Apalagi jika di sisi lain, kelompok-kelompok suporter justru lebih mampu menunjukkan sikap tertib dan damai ketimbang narasi yang dibangun oleh otoritas.