Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain total dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /www/indo/38.181.62.195/wp-includes/functions.php on line 6121
Persela, Pemuda, dan Panggung Harapan: Ketika Sepak Bola Menjadi Cermin Masyarakat – mahjong ways

Persela, Pemuda, dan Panggung Harapan: Ketika Sepak Bola Menjadi Cermin Masyarakat

Di tribun selatan Stadion Surajaya, sorak-sorai tak sekadar mendukung, ia adalah doa, harapan, dan kritik sosial yang dikemas dalam lagu. Tiap nama pemain muda yang diumumkan menjadi sinyal bahwa masa depan bukan milik mereka yang berpengalaman saja, tapi juga mereka yang berani bermimpi. Di balik seleksi pemain Persela, tersembunyi harapan publik akan regenerasi: bukan hanya di lapangan hijau, tapi juga dalam kepemimpinan dan semangat daerah.

Bagi masyarakat Lamongan, Persela bukan hanya klub bola, ia adalah cermin kolektif. Ketika satu nama pemain muda muncul dalam starting eleven, itu bukan sekadar keputusan teknis pelatih, tapi juga simbol bahwa kesempatan masih mungkin bagi anak kampung yang latihan di lapangan becek dengan sepatu bekas.

Di bangku cadangan, seorang pemain muda merapatkan jaket biru mudanya. Bukan karena dingin malam, tapi karena gugupnya menggenggam kemungkinan. Ia tahu, tak semua debut berakhir manis. Tak semua mimpi punya panggung yang terang.

Tapi Lamongan tak pernah kekurangan cinta. Peluit suporter yang kadang lebih nyaring dari peluit wasit adalah pelajaran pertama tentang loyalitas: bahwa jatuh bangun di lapangan hanyalah bagian dari proses menjadi sesuatu… atau seseorang.

Mereka yang duduk diam di tribun, menatap tanpa teriak, hanya sesekali senyum atau geleng pelan. Mereka itulah penjaga sunyi harapan. Wajah-wajah lelah yang tetap datang meski tim tak menang-menang. Karena bagi mereka, Persela bukan soal skor, tapi soal merasa ada dan dimiliki.

Dan ketika pertandingan usai, lampu stadion kembali redup, tribun perlahan kosong, dan suara-suara sorak digantikan bisik-bisik angin dari Bengawan Solo yang tertinggal adalah jejak langkah anak-anak muda yang memilih tetap percaya.

Mereka mungkin belum mencetak gol kemenangan. Tapi mereka sudah memenangkan sesuatu yang lebih langka: keberanian untuk memulai. Di kota kecil bernama Lamongan, di balik seragam biru muda yang sering dipandang remeh, harapan terus bertumbuh. Perlahan. Diam-diam. Tapi pasti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




Mohon tunggu…

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya

Beri Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi
tanggung jawab komentator
seperti diatur dalam UU ITE


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *