Turnamen bulutangkis Japan Open 2025 yang digelar di Tokyo Metropolitan Gymnasium menyisakan kekecewaan mendalam bagi pecinta bulutangkis Indonesia. Dua tunggal andalan, Jonatan Christie dan Gregoria Mariska Tunjung, harus tersingkir lebih awal di babak 32 besar. Keduanya kalah dalam pertandingan straight game yang menggambarkan keterbatasan strategi dan kestabilan permainan di lapangan.
Jonatan Christie, peringkat 4 dunia, secara mengejutkan kalah dari Kenta Nishimoto yang berperingkat 12 dunia. Dalam dua gim cepat, Jonatan hanya mampu mengumpulkan skor 13-21 dan 12-21. Kekalahan ini menjadi tamparan keras, mengingat Kenta yang kini berusia 30 tahun bukan lagi pemain muda dengan keunggulan stamina atau kecepatan reaksi yang prima.
Sementara itu, Gregoria Mariska Tunjung harus tunduk pada pemain non-unggulan tuan rumah, Riko Gunji, yang baru berusia 22 tahun. Skor 21-10 dan 21-12 dalam waktu 35 menit menunjukkan betapa dominannya Gunji, bahkan tanpa harus mengeluarkan seluruh potensi. Penampilan Gregoria jauh dari standar pemain top 10 dunia.
Jika dilihat dari statistik, baik Jonatan maupun Gregoria sama-sama banyak melakukan unforced errors, terutama pada pukulan-pukulan serang yang terlalu terbaca dan pertahanan yang rapuh. Hal ini membuka mata kita terhadap stagnasi teknik bermain para atlet elite Indonesia yang selama ini belum mengalami transformasi signifikan.
Jonatan, yang selama ini dikenal dengan permainan rally panjang dan pukulan-pukulan setengah smash, terlihat tak memiliki rencana alternatif saat strategi awal. Kenta Nishimoto berhasil menutup ruang serang dan memancing Jonatan ke dalam jebakan-jebakan tempo lambat yang menguras kesabaran.
Kekalahan bukan akhir perjalanan, melainkan tanda bahwa perubahan harus dimulai. Di balik skor telak, tersimpan pelajaran besar. Regenerasi bukan hanya opsi, tapi keniscayaan menuju kejayaan.
Gregoria sendiri seolah terjebak pada pola permainan monoton. Ia gagal membangun ritme sejak awal, serta mudah terpancing pada pukulan-pukulan silang Riko Gunji. Tak hanya itu, gerakan kaki Gregoria yang lamban dan respon terhadap drop shot lawan juga menunjukkan minimnya persiapan menghadapi lawan-lawan muda dengan gaya dinamis.
Kekalahan ini bukanlah semata hasil buruk dalam satu turnamen. Ini adalah manifestasi dari masalah sistemik. Teknik menyerang yang stagnan dan pertahanan yang mudah ditebak. Para lawan dari negara-negara seperti Jepang, Korea, India, bahkan Prancis kini sudah sangat paham bagaimana mematahkan pola permainan atlet Indonesia.
Kepelatihan nasional perlu mengevaluasi kembali pola latihan yang terlalu bergantung pada teknik lama yang kurang fleksibel. Adaptasi terhadap permainan cepat, variasi serangan yang lebih berani, dan pengembangan psikologis saat tertinggal skor perlu menjadi fokus dalam pemusatan latihan. Japan Open 2025 ini seharusnya bisa menjadi panggung pembuktian regenerasi maupun comeback, justru memperlihatkan celah besar dalam prosesnya.
Kini saatnya PBSI berani melakukan gebrakan, mengorbitkan pemain muda dalam turnamen-turnamen level Super 500 hingga Super 1000, meski konsekuensinya adalah hasil jangka pendek yang belum stabil. Dalam olahraga, regenerasi bukan pilihan, tetapi keharusan. Kemenangan di level junior atau nasional tidak cukup jika tidak dibarengi dengan eksposur di turnamen besar. Pemain-pemain muda perlu diberi ruang untuk “gagal” di lapangan besar agar mental dan insting bermainnya terasah sejak dini.
Dalam hal manajemen prestasi, konsistensi performa pemain elite seperti Jonatan dan Gregoria memang penting, tetapi membebani mereka terus-menerus tanpa pembaruan sistem akan menghasilkan kelelahan psikologis dan permainan yang stagnan, sebagaimana terlihat dalam pertandingan kali ini.