Di tengah riuh Centre Court yang legendaris, di antara sejarah yang menempel di dinding-dinding angin dan tanah rumput yang menyimpan jejak para legenda, seorang perempuan berdiri dengan raket di tangan dan sejarah di ujung ayunan. Iga witek, sosok yang lama menjadi ratu tanah liat, akhirnya menaklukkan padang rumput paling sakral di dunia: Wimbledon.
Ia melakukannya tidak hanya dengan kemenangan, tetapi dengan simfoni yang nyaris mustahil. Swiatek membungkam Amanda Anisimova dalam dua set lurus, 6-0, 6-0, dalam waktu hanya 57 menit. Sebuah skor yang terdengar seperti mitos, namun kali ini ditulis dengan tinta emas di buku sejarah nyata.
Asal tahu saja final Wimbledon Putri terakhir yang sebrutal ini terjadi lebih dari seabad lalu, tahun 1911. Dalam era yang telah melahirkan Billie Jean, Steffi Graf, Serena Williams, tak satu pun menyentuh kesempurnaan yang Swiatek ukir pada Sabtu, 12 Juli lalu.
Ini adalah sejarah kemenangan “double bagel” (0 game untuk lawan di kedua set) di final Wimbledon putri yang pernah terukir pada 1911. Saat itu, 114 tahun silam Dorothea Lambert Chambers menaklukkan Dora Boothby dengan skor sama. Sebenarnya pernah ada pula final serupa, yakni kala Steffi Graf menghancurkan Natalia Zvereva 60, 60. Namun itu di French Open tahun 1988.
Tahun ini, langkah Swiatek tak seperti biasanya. Ia tidak mengandalkan kekuatan mentah, tapi kesabaran dan kedalaman rasa. Ia menari di atas rumput, bukan menabraknya. Setiap pukulan bukan sekadar angka, tapi irama yang ia bangun sejak bertahun lalu.
Dan ketika ia melangkah ke final, tak ada ampun, tak ada getar. Coba cermati, 28 unforced errors milik Anisimova tidak lahir dari kelengahan semata, melainkan berasal dari keheningan yang Swiatek ciptakan. Berkali tekanan sunyi yang membuat lawan kehilangan logika dan arah. Anisimova yang sebelumnya memulangkan Aryna Sabalenka, si unggulan pertama di semi final, benar-benar tak berkutik. Seolah-olah ia dipermainkan oleh tarian sunyi Swiatek.
Kini, dengan mahkota Wimbledon di genggaman, witek menjadi juara Grand Slam di tiga permukaan berbeda. Ia tidak lagi hanya ratu tanah liat, tapi penjelajah langit tenis. Swiatek meneruskan jejak Steffi Graf yang memenangkan Grand Slam di tiga permukaan: tanah liat, keras, dan rumput.
Gelar ini adalah yang kelima di Grand Slam, tapi mungkin paling emosional, paling filosofis, paling personal.
Sebagai juara, ia diganjar 3 juta poundsterling. Tentulah uang bukanlah klimaks dari kisah ini. Yang lebih mahal adalah waktu yang ia bayar untuk menunggu. Memulai debut Wimbledon di single putri pada 2019, setelah setahun sebelumnya meraih juara ganda putri junior bareng Caty McNally.
Namun 2019 seperti hanya babak pemanasan belaka. Selanjutnya naik-turun. Dan paling menyakitkan adalah pada 2024 yang dibungkam Petra Matric di babak kedua. Memastikaan dirinya angkut koper balik ke Warsawa, Polandia. Sekaligus muncul konspirasi bahwa Wimbledon adalah Grand Slam yang “tidak bersahabat” bagi Swiatek. Banyak yang mulai meragukan kemampuannya untuk menaklukkan permukaan rumput. (*)