Inter Milan punya kans mencapai treble winner musim ini. Tapi, satu-satu dari ekspektasi itu rontok seperti bunga-bunga kertas di terpa angin pancaroba.
Di level persaingan domestik, anak asuh Simone Inzaghi ini pada akhirnya diminta bertekuk lutut di depan Napoli-nya Antonio Conte. Pelatih yang membuat Juventus kembali ke kasta ningrat Serie A dalam episode dominasi yang panjang itu.
Conte membuktikan diri jika diibaratkan puisi, ia adalah proses kreatif yang selalu berapi-api, total, dengan garansi kualitas yang selalu berada di garda depan. Energi kompetitifnya seperti gak ada habisnya.
Kemudian, dalam perebutan Coppa Italia, second target mereka, Lautaro Martinez, dkk cuma bisa sampai di Semifinal.
Mereka dimakan oleh saudara sekotanya yang musim ini tampil buruk sekaligus menunjukan optimisme Zlatan Ibrahimovic kepada Paulo Fonseca di awal musim hanyalah klaim tanpa dasar.
Thiago Motta, memang pada akhirnya senasib dengan Fonseca di Milan karena sepakbolanya yang angin-anginan. Tapi, ia masih menjaga asa Juventus di persaingan “The Big Four”, yang kemudian diselamatkan Igor Tudor.
Sementara itu, sebagai suksesor rekan setanah airnya, kemanakah Sergio Conceicao membawa “il Diavolo “–julukan Milan–di akhir musim? Peringkat 8 dengan 11 kekalahan, 18 kemenangan, 7 imbang. Suksesi yang praktis tidak berdampak juga!
Jadi, kembali ke Inter Milan. Sekarang tim ini tinggal punya harapan di Liga Champions Eropa.
Kita berpikir–dan Internisti berharap–tim ini bakalan habis-habisan. Mengorbankan segala daya seolah-olah ini perang yang menentukan nasib, besok masih atau menanggung kutuk yang sama di stadion Allianz Arena, Muenchen.
Saya sendiri menduga–tapi memang tidak berharap mereka bakal juara–pertandingan final akan sengit. Karena mengacu pada progres yang dilakukan sepanjang putaran penyisihan.