Setiap kali kalender sepak bola menandai bulan Mei, aroma final Liga Champions Eropa menyeruak seperti wangi rumput stadion yang baru dipotong. Musim 2024/2025 ini, dua tim beda kutub bertemu di partai puncak: Paris Saint-Germain (PSG) dari Prancis dan Inter Milan dari Italia. Laga yang, jika ditilik lebih dalam, bukan sekadar soal trofi bergengsi. Ini tentang mitos dan ambisi. Tentang sejarah dan obsesi. Tentang siapa yang akan berdiri sebagai legenda dan siapa yang harus kembali merajut mimpi dari awal.
Paris Saint-Germain: Mimpi yang Terlalu Mahal?
PSG adalah klub yang tak pernah kekurangan uang, tapi justru sering kekurangan takdir. Sejak diambil alih oleh Qatar Sports Investments pada 2011, PSG berubah menjadi klub super-kapitalis yang mengoleksi bintang—dari Zlatan Ibrahimovi, Neymar, hingga Lionel Messi. Namun, trofi Liga Champions selalu luput. Final 2020 yang mereka capai pun kandas oleh Bayern Mnchen. Trofi domestik? Sudah seperti makan siang. Tapi Eropa? Masih jadi santapan yang terlalu alot.
Tahun ini, PSG datang ke final dengan skuad yang lebih muda, lebih lapar, dan (katanya) lebih kolektif. Setelah era “Galacticos” versi Paris gagal membawa hasil, pelatih Luis Enrique meracik ulang timnya jadi mesin pressing yang cerdas. Nama-nama seperti Warren Zare-Emery, Xavi Simons, dan Gonalo Ramos mungkin tak sepopuler Messi atau Mbapp, tapi mereka menyusun ulang makna “bintang”—bukan siapa yang paling bersinar, tapi siapa yang paling menyatu.
Ambisi PSG jelas: ingin menulis sejarah. Tapi justru di situlah letak dilema mereka. Sejarah tak bisa dibeli, dan terkadang semakin dikejar, semakin jauh ia berlari. Seperti Narcissus yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri, PSG kerap terpeleset karena tergoda pada pencitraan alih-alih fondasi.
Inter Milan: Mitos yang Kembali Hidup
Di sisi lain, Inter Milan hadir sebagai perwujudan mitos lama yang belum usang. Klub ini pernah merajai Eropa di era Helenio Herrera pada 1960-an dan kembali mencicipi kejayaan bersama Jos Mourinho pada 2010. Setelah itu? Luruh, bangkit, luruh lagi. Namun sejak kedatangan Simone Inzaghi, Inter berubah jadi mesin yang konsisten, tak mencolok tapi efektif. Final UCL 2023 yang mereka lakoni melawan Manchester City—meski kalah—adalah sinyal bahwa sang raksasa Italia belum habis.
Musim ini, Inter kembali dengan formasi yang lebih matang, pengalaman yang lebih lengkap, dan gaya bermain yang memadukan pertahanan Italia klasik dengan serangan yang efisien. Pemain seperti Nicol Barella, Lautaro Martnez, dan Benjamin Pavard memainkan peran penting dalam menjaga ritme dan semangat tim.
Jika PSG adalah ambisi yang belum jadi kenyataan, Inter adalah mitos yang ingin dihidupkan kembali. Mereka tak mengobral bintang, tapi membangun fondasi. Tak mendewakan nama besar, tapi merawat tradisi. Di sinilah keduanya bertemu: satu ingin menjadi sejarah, satu ingin mengulangnya.
Antara “Winning Mentality” dan Kutukan Final