Tanpa Kylian Mbapp, PSG Diyakini Bakal Juara Liga Champions: Sebuah Paradoks yang Menarik
Kepergian seorang bintang besar kerap dianggap sebagai kemunduran bagi klub sepak bola mana pun. Namun, dalam kasus Paris Saint-Germain (PSG), situasinya justru menampilkan paradoks yang menarik. Alih-alih diragukan, PSG justru mulai diyakini bakal menjuarai Liga Champions pasca-ditinggal Kylian Mbapp. Beberapa pihak bahkan menyebut bahwa inilah “takdir” yang selama ini dinanti klub asal Paris tersebut. Narasi ini tentu menimbulkan perdebatan: mungkinkah kehilangan pemain terbaik justru menjadi berkah terselubung?
Mbapp dan Kutukan Liga Champions PSG
Sejak bergabung pada tahun 2017, Kylian Mbapp telah menjadi wajah utama PSG. Dengan kecepatan luar biasa, teknik tinggi, dan naluri mencetak gol yang tajam, Mbapp adalah simbol ambisi PSG untuk menaklukkan Eropa. Namun, meskipun dominan di kompetisi domestik, PSG terus gagal meraih mahkota tertinggi Liga Champions, bahkan setelah mendatangkan sejumlah bintang besar seperti Neymar, Messi, Sergio Ramos, hingga Donnarumma.
Final Liga Champions 2020 menjadi pencapaian terdekat, namun PSG kalah 0-1 dari Bayern Mnchen. Sejak itu, perjalanan mereka selalu kandas di fase gugur, sering kali dengan dramatis dan penuh kontroversi. Beberapa pengamat mulai menyebut bahwa keberadaan pemain bertabur ego seperti Mbapp justru menghambat soliditas tim. Dalam pandangan ini, PSG terlalu bergantung pada aksi individual dan kehilangan keseimbangan sebagai kolektif.
Kelebihan Kolektivitas Tanpa Bintang Utama
Kepindahan Mbapp—yang dikabarkan menuju Real Madrid pada musim panas 2025—secara mengejutkan memunculkan optimisme baru. Sejumlah analis sepak bola mulai menilai bahwa tanpa sosok bintang utama, PSG bisa kembali ke esensi tim yang lebih kolektif dan tak bergantung pada satu pemain. Gaya bermain tim bisa menjadi lebih cair, rotasi berjalan lebih merata, dan para pemain muda mendapatkan ruang berkembang.
Pelatih Luis Enrique yang dikenal sebagai arsitek dengan pendekatan taktis yang fleksibel, justru dianggap bisa lebih leluasa membentuk skuad tanpa tekanan memenuhi ekspektasi pemain bintang. Pengaruh ruang ganti yang lebih sehat dan kompetitif diprediksi menjadi kunci kebangkitan PSG di Eropa.
Contoh dari Tim-Tim Lain
Sejarah Liga Champions juga menunjukkan bahwa tim yang menjuarai kompetisi ini tidak selalu ditentukan oleh bintang besar, melainkan oleh kolektivitas, mentalitas, dan keseimbangan taktik. Chelsea pada tahun 2021 menaklukkan Manchester City tanpa pemain top tiga dunia, tetapi dengan organisasi permainan yang solid. Liverpool pada 2019 menunjukkan konsistensi kolektif yang luar biasa tanpa bergantung pada satu individu.