Pertandingan antara pasangan non-pelatnas Sabar Karyaman Gutama/Moh Reza Pahlevi Isfahani melawan pasangan pelatnas Fajar Alfian/Muhammad Shohibul Fikri bukan hanya laga bulu tangkis biasa. Ini adalah simbol pertemuan dua arus kekuatan dalam ekosistem badminton Indonesia. Arus pemain pelatnas yang mendapat dukungan penuh PBSI dan arus pemain non-pelatnas yang mengandalkan kekuatan mandiri namun tetap kompetitif.
Pertarungan di Japan Open Super 750 ini menjadi menarik. Hal itu karena mempertemukan pasangan non-pelatnas yang sudah punya jam terbang dan peringkat dunia (ranking 8) dengan pasangan pelatnas yang baru dibentuk, namun terdiri dari nama-nama besar. Fajar Alfian yang biasanya berduet dengan Muhammad Rian Ardianto, kini bersanding dengan Shohibul Fikri.
Set pertama menyuguhkan tensi tinggi dan kejar-kejaran angka yang dramatis. Sabar/Reza menunjukkan bahwa mereka bukan lawan yang bisa diremehkan meski berstatus non-pelatnas. Mereka mampu menyamakan ritme dan memberi tekanan hingga skor ketat 22-24 menutup set untuk keunggulan Fajar/Fikri.
Namun, di set kedua tampak perbedaan kualitas yang cukup mencolok. Fajar/Fikri meski baru berpasangan, menunjukkan chemistry dan komunikasi yang solid. Mereka tampil lebih agresif, rapi dalam bertahan, dan tajam dalam menyerang, menutup set kedua dengan kemenangan 21-12 hanya dalam waktu total 39 menit.
Semangat para pejuang non-pelatnas seperti Sabar dan Reza adalah bukti bahwa impian tidak harus lahir dari sistem, tapi dari keyakinan dan kerja keras.
Kemenangan ini menjadi sinyal kuat bahwa duet Fajar/Fikri bisa menjadi kombinasi baru yang potensial. Mereka berhasil keluar dari bayang-bayang pasangan lama dan langsung “nyetel” meskipun gaya bermain mereka terbilang baru untuk dipadukan. Ini bukan hanya kemenangan teknik, tetapi juga kemenangan strategi.
Di sisi lain, kekalahan ini tidak lantas menurunkan pamor Sabar/Reza. Sebaliknya, mereka justru mendapat panggung untuk membuktikan bahwa pemain non-pelatnas bisa bersaing di level tertinggi. Keberanian dan kualitas permainan mereka menunjukkan bahwa kompetisi internal Indonesia tetap hidup dan sehat.
Menariknya, jika dibandingkan dengan pertemuan Sabar/Reza melawan Fajar/Rian, pasangan tetap Fajar selama beberapa tahun, hasilnya memang selalu mengunggulkan Fajar/Rian. Namun, peringkat dunia Sabar/Reza yang kini di posisi 8, menunjukkan perkembangan signifikan dan dedikasi luar biasa meski berada di luar sistem pelatnas.
Pertandingan ini juga memunculkan wacana tentang efektivitas sistem pelatnas PBSI. Apakah pelatnas masih menjadi satu-satunya jalur utama bagi pemain untuk berkembang? Atau justru kini muncul alternatif jalur profesional yang sama kompetitifnya, seperti yang ditunjukkan Sabar/Reza?
Keharmonisan permainan Fajar/Fikri menjadi nilai jual tersendiri. Meski baru debut, mereka langsung menciptakan pola serangan dan pertahanan yang harmonis. Ini menjadi sinyal kepada pelatih ganda putra PBSI bahwa kombinasi baru ini layak diberi lebih banyak kesempatan tampil di turnamen besar.
Dari sudut manajemen olahraga, laga ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam pembinaan atlet. Tidak ada formula mutlak yang menjamin keberhasilan pasangan. Hal yang terpenting adalah pembuktian di lapangan, dan Fajar/Fikri sudah menjawabnya dengan kemenangan meyakinkan.