Kekalahan telak Inter Milan 0-5 dari Paris Saint-Germain (PSG) dalam final Liga Champions UEFA 2024–2025 yang berlangsung pada 1 Juni 2025 di Allianz Arena, Munich. Kemenangan ini menandai gelar pertama PSG di ajang Liga Champions, sementara kekalahan ini menjadi luka besar bagi Inter Milan dan sepak bola Italia secara keseluruhan. Dalam tulisan ini, akan dijabarkan tiga faktor utama yang menjadi penyebab kekalahan Inter Milan, berdasarkan analisis dari media internasional terkemuka seperti The Guardian, L’quipe, Cadena SER, dan Die Welt.
1. Kelemahan Taktik dan Kesalahan Strategis Simone Inzaghi
Salah satu sorotan paling tajam dari kekalahan Inter Milan datang dari sektor taktik dan pendekatan permainan yang dipilih pelatih Simone Inzaghi. Surat kabar The Guardian menulis tajuk “La dbcle” untuk menggambarkan kehancuran total Inter Milan dalam laga ini. Media Inggris tersebut juga mengkritisi Inzaghi yang terlihat kehilangan arah dalam menyusun strategi menghadapi PSG, sebuah tim yang secara mengejutkan tampil sangat dominan meski tidak diperkuat Kylian Mbapp yang sudah hengkang ke Real Madrid.
Inzaghi memilih pendekatan konservatif dengan formasi 3-5-2 yang selama ini menjadi andalan Inter. Namun, pendekatan ini justru tidak mampu mengimbangi fleksibilitas dan mobilitas tinggi dari lini tengah PSG yang dikomandoi oleh Warren Zare-Emery dan Carlos Soler. Inter tidak melakukan pressing efektif dan cenderung pasif, membiarkan PSG mengatur tempo sejak awal pertandingan. Ketika tertinggal dua gol di babak pertama, Inzaghi terlambat melakukan perubahan. Pergantian pemain yang dilakukan — termasuk masuknya Arnautovi dan Frattesi — tidak memberikan dampak berarti dan justru memperlihatkan kurangnya opsi kreatif di bangku cadangan Inter.
Hal ini semakin diperparah dengan ketidakmampuan Inter menyesuaikan diri dengan gaya permainan PSG. Luis Enrique, pelatih PSG, tampil brilian dengan strategi menyerang berbasis kolektivitas dan pressing tinggi, memanfaatkan kelemahan struktural Inter yang tidak mampu bertahan secara terorganisir dalam situasi transisi.
2. Dominasi Kolektif PSG dan Minimnya Respons Inter Milan
PSG tampil luar biasa dalam laga ini, dan hampir semua media Eropa sepakat bahwa kemenangan mereka bukan semata karena kualitas individu, melainkan karena kekuatan kolektif yang sangat solid. L’quipe, surat kabar olahraga terkemuka Prancis, menulis bahwa “PSG telah menemukan dirinya yang sejati” — sebuah tim yang tidak lagi bergantung pada satu bintang besar seperti Neymar atau Mbapp, tetapi mengandalkan sinergi dan kerja sama antarlini.
Pemain muda seperti Dsir Dou mencetak dua gol dan menunjukkan kedewasaan luar biasa dalam pertandingan sebesar ini. Achraf Hakimi, yang notabene adalah mantan pemain Inter, juga mencetak gol indah ke gawang mantan klubnya, menambah ironi dalam kekalahan Inter. Khvicha Kvaratskhelia, yang baru direkrut dari Napoli musim panas lalu, memberikan kecepatan dan kreativitas yang tak terbendung di sisi kiri, sementara Senny Mayulu, lulusan akademi PSG, mencatatkan namanya di papan skor sebagai bukti keberhasilan proyek jangka panjang PSG membina talenta muda.
Situs Cadena SER dari Spanyol mengulas bahwa PSG tampil sebagai tim yang “paling seimbang secara struktur sejak era Laurent Blanc,” dan memberikan pujian kepada Luis Enrique yang berhasil membangun identitas tim yang baru pasca-kepergian pemain bintang. Tidak hanya itu, PSG juga menunjukkan mentalitas yang sangat kuat. Mereka terus menekan dan menyerang meskipun sudah unggul tiga gol, memperlihatkan haus kemenangan dan ambisi besar mereka untuk mendominasi Eropa.
Sebaliknya, Inter terlihat bingung dan kehilangan arah setelah gol kedua. Tidak ada respons signifikan baik secara taktis maupun psikologis dari para pemain. Mereka terisolasi, lambat dalam bergerak, dan tidak mampu memanfaatkan peluang-peluang kecil yang muncul. Dua tembakan tepat sasaran dalam 90 menit adalah cermin dari betapa tumpulnya lini serang Inter dalam pertandingan ini.
3. Penampilan Di Bawah Standar dan Minimnya Kepemimpinan di Lapangan
Kekalahan sebesar ini tentu tak lepas dari performa buruk sejumlah pemain kunci Inter Milan. Penyerang Lautaro Martnez, yang musim ini menjadi pencetak gol terbanyak klub di Serie A, tampil nyaris tak terlihat. Ia gagal memenangkan duel dengan Marquinhos maupun Danilo Pereira, dan tidak mampu menciptakan ruang atau ancaman berarti. Marcus Thuram, rekan duetnya di lini depan, bahkan lebih buruk: minim kontribusi dan terlalu sering kehilangan bola di area penting.
Lini tengah Inter yang biasanya menjadi kekuatan utama juga tampil melempem. Nicol Barella dan Hakan alhanolu kesulitan mengalirkan bola dan terlihat frustrasi karena tekanan tinggi dari PSG. Henrikh Mkhitaryan yang diharapkan menjadi penghubung antar lini justru terlihat kelelahan dan tidak mampu mengikuti intensitas permainan lawan.
Die Welt dari Jerman melaporkan bahwa pelatih Simone Inzaghi telah menyampaikan kepada manajemen bahwa ia akan mempertimbangkan masa depannya di klub menyusul hasil memalukan ini. Dalam wawancara pascapertandingan, Inzaghi tampak emosional dan mengakui bahwa timnya “gagal secara menyeluruh.” Kekalahan 0-5 di partai final Eropa adalah hasil terburuk dalam sejarah klub, dan kini menciptakan krisis kepercayaan terhadap arah pembangunan tim yang selama ini tampak menjanjikan.