Dalam dunia sepak bola, ada momen-momen yang tak sekadar menjadi catatan sejarah, tetapi juga mengguncang jiwa, membakar semangat, dan mengukir kenangan abadi di hati jutaan penggemar.
Salah satu pencapaian tertinggi dalam olahraga ini adalah meraih treble, gelar liga domestik, piala domestik, dan Liga Champions UEFA dalam satu musim.
Namun, ada sesuatu yang jauh lebih langka, lebih megah, dan lebih emosional yakni menjadi pelatih yang mampu mencapai treble bersama dua klub berbeda.
Hanya dua nama yang bertahta di puncak prestasi ini. Pep Guardiola dan Luis Enrique. Mereka bukan sekadar pelatih, tapi seniman atau filsuf yang telah menorehkan kisah epik membawa air mata kebahagiaan dan kebanggaan bagi penggemar di seluruh dunia.
Pep Guardiola, Arsitek Impian yang Tak Pernah Berhenti
Bayangkan berada di Camp Nou pada musim 2008/09, ketika Pep Guardiola, seorang putra Catalunya, memimpin Barcelona menuju treble pertamanya, La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions.
Semuanya direngkuh dengan gaya tiki-taka yang memukau dunia. Itu bukan sekadar kemenangan, tapi revolusi.
Pep, dengan visi taktisnya yang brilian, mengubah sepak bola menjadi seni, di mana setiap operan adalah sapuan kuas, setiap gol adalah lukisan masterpiece.
Ingat gol Lionel Messi ke gawang Manchester United di final Liga Champions 2009, ketika bola melayang di udara seperti puisi yang ditulis oleh para dewa sepak bola.
Momen itu yang membuat penggemar menangis, berteriak, dan percaya bahwa sepak bola adalah emosi.
2022/23, Pep kembali mengukir sejarah, kali ini bersama Manchester City. Setelah bertahun-tahun dihantui kegagalan di Liga Champions, ia akhirnya membawa The Citizens meraih treble.
Kemenangan 1-0 atas Inter Milan di final Liga Champions adalah klimaks dari perjuangan panjang.