Tertegun melihat laju Jakmania di Jalan Pasar Minggu pada minggu sore kemarin. Dengan berbagai atribut yang menempel di badan dan bus, mereka mendengungkan syair-syair kebanggaan tim ibu kota, bersuka cita menuju stadion Utama Senayan Jakarta. Mereka tidak banyak, hanya 2 bus, namun keberadaan mereka mungkin mewakili banyak orang.
2 bus tidak sama dengan sepi, sampai besar suara drum dan nyanyian itu pada akhirnya memuncak. Tak lama, segerombolan anak tiba-tiba muncul dari gang sempit. Ada yang berteriak “The Jak! The Jak!”, ada yang ikut bernyanyi, adapula yang mendokumentasikan dengan gadet-nya. Tak lupa isyarat simbol tangan legendaris Jakmania juga mewarnai kegembiraan sore itu. Semua anak ikut berseru, berlari mengikuti laju iringan bus.
Pada moment itu seketika terlintas nostagia. Semua kembali ke saat di mana penulis masih belum cukup mental untuk pergi ke stadion. Bayangan seperti apa dan bagaimana stadion yang masih gelap, menimbukan penasaran memacu adrenaline. Sampai-sampai menimbulkan kebiasaan untuk selalu menciptakan euforia dan cara sendiri tentang bagaimana penulis bisa ikut andil di dalamnya.
Akhirnya terbitlah ide untuk melihat The Jakmania melaju. Ditemani Bapak Basuki (Om Penulis), setiap sore persija bertanding penulis selalu menunggu di trotoar MT. Haryono hanya untuk melihat bus supporter, Jakmania yang lewat. Ketika lewat, girang bukan main penulis ikut-ikutan. Bersorak, bernyanyi, melambai untuk berseru merasakan euforia-nya.
Jika ditelaah kembali, sebenarnya aneh ketika melihatnya dari sudut pandanga yang sempit. Memang apa serunya melihat bus supporter melintas? Bukankah sama dengan kendaraan lain yang lalu lalang? Jika karena nyanyiannya, apakah arak arakan penyanyi dangdut juga bisa demikian? bukankah malah mengganggu kendaraan lain? Kenapa waktu itu seolah menyenangkan?
Jawabannya adalah pada kesamaan akan adanya keterwakilan, passion dan pride yang menimbulkan kesamaan tujuan dan rasa cinta pada Persija Jakarta. Rasa cinta ini adalah bentuk refleksi atas Kota Jakarta itu sendiri. Kita mungkin tidak menyadarinya, namun bukan berarti kita tidak bisa merasakannya, penulis yang waktu itu pun demikian.

Ada beberapa hal yang penulis sadari setelah merasakan pengalaman tersebut: Ternyata masih banyak penduduk Jakarta yang masih sayang Persija. Banyak pendatang tidak membuat Persija redup eksistensinya. Bahkan, “Bocil” Gen Z yang terjangkit gadet pun masih sempat terbangun keterwakilan dan rasa cintanya dengan Persija. Penulis meyakini, masyarakat dari berbagai lapisan pun pasti merasakan, semua bisa terjadi karena budaya yang dibangun, dijaga dan dilestarikan oleh Jakmania untuk generasi selanjutnya.
Terakhir, penulis hanya ingin menyampaikan rasa syukur setinggi-tingginya. “Thank God, Football Culture is not dying yet in Jakarta”. Pengalaman yang indah, cukup untuk merangsang kembali ingatan. di beberapa kebetulan, semoga dengan keberhasilan Jakmania memelihara budayanya dapat memperkuat kembali harapan, bahwa Taring Macan Kemayoran mesti kembali dibangkitkan demi doa-doa yang terlupakan.
Salam Jakmania.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI