Di tengah gelombang kebangkitan sepak bola nasional—dengan prestasi Timnas yang terus menanjak dan dukungan publik yang membuncah—datang sebuah kabar yang menampar kesadaran kita semua: FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia menjelang laga penting melawan China. Bukan karena tindakan pemain di lapangan, melainkan karena perilaku sebagian kecil suporter yang meneriakkan yel-yel bernada rasis dan xenofobia saat laga melawan Bahrain.
Sanksi FIFA dan Konsekuensinya
FIFA, melalui Komite Disiplinnya, menjatuhkan hukuman berupa pengurangan kapasitas stadion utama Gelora Bung Karno (GBK) sebesar 15% pada pertandingan selanjutnya. Stadion bersejarah yang dapat menampung 77.193 penonton itu kini harus dikosongkan dari sekitar 11.580 kursi. Angka yang bukan hanya sekadar statistik, tetapi juga menjadi simbol dari kerugian moral dan citra Indonesia di mata dunia.
Dalam keputusan resminya yang dirilis pada 8 Mei 2025, FIFA menyatakan:
“Federasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) dianggap gagal dalam mencegah tindakan diskriminatif oleh suporter saat pertandingan resmi. Sebagai bentuk sanksi, 15% dari kapasitas stadion dilarang diisi, kecuali oleh komunitas anti-diskriminasi dan dengan syarat pengibaran spanduk anti-rasisme secara masif.”
Ini bukan kali pertama FIFA menegur Indonesia terkait perilaku suporter. Namun, kali ini terasa lebih memalukan karena terjadi justru ketika sorotan dunia mulai melirik kemajuan sepak bola kita.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Insiden bermula dalam laga kualifikasi Piala Dunia melawan Bahrain bulan lalu. Beberapa oknum suporter terdengar meneriakkan kata-kata bernada rasis yang ditujukan pada pemain lawan. Investigasi yang dilakukan oleh FIFA menguatkan bukti lewat rekaman video dan laporan ofisial pertandingan. Perilaku itu jelas melanggar pasal 13 dari FIFA Disciplinary Code tentang diskriminasi.
“Kami mengecam segala bentuk tindakan rasis dan akan terus bekerja sama dengan FIFA untuk memperbaiki sistem pengawasan dan edukasi di stadion,” kata Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, saat konferensi pers di Jakarta (9/5/2025).
Ketika Nasionalisme Membutakan Akal Sehat
Euforia mendukung Timnas kerap membelok ke arah yang salah. Rasa cinta pada tanah air memang penting, tetapi jika ia menumbuhkan kebencian pada bangsa lain, maka nasionalisme itu telah menjelma menjadi chauvinisme beracun.