Sebagai pendukung Manchester United, tidak ada yang lebih memuaskan selain menyaksikan kebangkrutan moral dan teknis dari Manchester City — klub plastik yang dibangun dengan uang tak terbatas, namun tak mampu menjaga kejayaan lebih dari satu-dua musim. Musim 2024/2025 akhirnya membuka mata dunia: City bukanlah dinasti sejati, melainkan tim yang hanya bisa berjaya selama segala sesuatunya berjalan sempurna. Ketika kenyataan menghantam, balon besar itu meletus begitu saja — meninggalkan jejak kegagalan yang bahkan uang Arab tak bisa tutupi.
Masalah City: Ilusi Kesempurnaan yang Terbongkar
City selama ini dipuja-puji sebagai klub sempurna — punya pelatih jenius, pemain bintang, dan gaya main yang disebut-sebut revolusioner. Tapi musim ini membuktikan satu hal: kesempurnaan itu palsu. Mereka tampil kacau di Liga Inggris dan seperti anak ayam kehilangan induk di Liga Champions. Semua taktik Guardiola yang rumit itu tak lebih dari sandiwara yang mudah dipatahkan saat pemainnya mulai kelelahan dan lawan sudah tahu pola main mereka.
Para pemain seperti De Bruyne dan Haaland, yang digadang-gadang sebagai monster, justru menjadi beban. Cedera dan performa buruk membuat mereka lebih banyak jadi penonton daripada penyelamat. Tanpa mereka, City seperti tim medioker yang kehilangan arah. Bahkan tim seperti Aston Villa atau Brentford pun bisa membuat mereka frustrasi.
Penyebabnya: Ketergantungan, Arogansi, dan Keletihan Sistem
Masalah utama City adalah ketergantungan mereka pada sistem dan pelatih. Pep Guardiola terlalu yakin bahwa taktiknya adalah satu-satunya jalan menuju kemenangan. Ia lebih sibuk overthinking formasi ketimbang membaca permainan nyata. Bahkan saat City jelas-jelas buntu, Pep masih sibuk memutar otak dengan ide aneh yang justru makin memperburuk keadaan.
Pemain pelapis City pun tampak seperti penonton bayaran. Ketika pemain utama cedera, tak ada satu pun dari mereka yang mampu mengisi kekosongan. Ini jelas menunjukkan bahwa proyek City bukan soal membangun tim tangguh, tapi soal membeli bintang mahal dan berharap mereka menyelesaikan semuanya.
Guardiola di UCL: Raja Overthinking yang Tak Pernah Belajar
Satu hal yang tak berubah dari Guardiola: dia terlalu pintar untuk kebaikannya sendiri. Dalam laga krusial Liga Champions, dia kembali mengulangi kesalahan lamanya — menurunkan pemain bukan pada posisi terbaiknya, terlambat melakukan pergantian, dan tetap memaksakan gaya bermain monoton.
Sistem 3-2-4-1-nya yang katanya fleksibel justru menjadi kelemahan utama. Lawan hanya perlu duduk dalam blok rendah, menunggu kesalahan, lalu menyerang balik. Dan seperti biasa, City tak punya rencana cadangan. Mereka bukan kalah karena kurang bagus — mereka kalah karena arogan.
Akibat: Mental Drop, Trofi Hilang, dan Era Mulai Runtuh