Kekalahan berjamaah yang dialami skuad bulutangkis Indonesia di Japan Open 2025, menjadi alarm keras yang tak bisa lagi diabaikan. Hanya tiga wakil yang tersisa di babak perempat final dari 13 wakil yang dikirimkan PBSI. Sektor yang berhasil menuju delapan besar atau perempat final adalah sektor tunggal putri, ganda putri, dan ganda putra. Sedangkan sektor lainnya rontok sejak babak 32 besar hingga 16 besar. Ini bukan sekadar kekalahan teknis, tapi cerminan sistem yang stagnan, mulai dari pola pembinaan, strategi permainan, hingga manajemen federasi.
Kehadiran pemain-pemain unggulan seperti Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, dan Gregoria Mariska Tunjung seolah tidak mampu membawa harapan. Ketiganya justru tersingkir di babak pertama alias 32 besar, menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi dan kesiapan mereka untuk turnamen besar selevel Super Series 750.
Sektor ganda campuran juga mengalami kehancuran yang sama menyedihkannya. Tiga pasangan andalan, Rehan/Gloria, Amri/Nita, dan Jafar/Felisha, tak mampu melanjutkan langkah di babak 16 besar. Mereka tumbang dengan skor yang mencolok, memperlihatkan celah strategi yang mudah dieksploitasi lawan, terutama setelah interval gim pertama.
Lawan-lawan dari negara lain tampak begitu mudah membaca pola permainan para atlet Indonesia. Gaya bermain yang monoton, minim improvisasi, dan terlalu bergantung pada pola klasik seperti reli net atau smash diagonal, membuat Indonesia seolah kehilangan ciri khas agresivitas taktis yang pernah ditakuti dunia.
Gaya main yang stagnan menjadi celah yang dimanfaatkan dengan cermat oleh para atlet dari Jepang, China, Korea, hingga Denmark. Mereka seolah sudah menyimpan “kamus” tentang bagaimana cara meredam pemain Indonesia, baik di sektor tunggal maupun ganda.
Kekalahan massal bukan akhir, tapi sinyal keras untuk berubah. Saat pemain lama mulai lelah dan terbaca, regenerasi dan variasi gaya adalah harga mati. Kita butuh keberanian untuk membangun ulang, bukan membenarkan kegagalan yang berulang.
Dalam kondisi ini, sinar harapan muncul dari pasangan ganda putri yang baru ditetapkan resmi, yaitu Lanny Tria Mayasari dan Siti Fadia Silva Ramadhanti. Fadia dalam beberapa turnamen sebelumnya, selalu berman pada dua sektor berbeda sehingga dianggap kurang fokus. Memastikan bahwa Fadia berpasangan dengan Lannya, pada akhirnya telah mencatatkan kemenangan penting atas pasangan Jepang, Mizuki Otake/Miyu Takahashi dengan skor meyakinkan 21-17 dan 21-14 hanya dalam 49 menit. Pola permainan mereka yang tenang, reli panjang, lalu serangan akurat secara mendadak, menjadi resep keberhasilan.
Lanny/Fadia bukan hanya menyelamatkan harga diri Indonesia, tetapi juga menjadi simbol keberhasilan regenerasi jika diberi ruang dan waktu. Mereka adalah juara Thailand Masters BWF Super 300 tahun ini dan melonjak dari ranking 55 ke 32. Ini bukti bahwa regenerasi memang bekerja jika dilakukan secara serius dan sistemik.
Sebaliknya, mempertahankan atlet-atlet senior yang telah berkali-kali gagal tanpa evaluasi menyeluruh hanya akan memperpanjang siklus kekalahan. Perlu pendekatan “pangkas generasi” dengan cara berani menurunkan para unggulan ke turnamen Super 100 atau 300 demi membentuk kembali mental juang dan rasa lapar akan kemenangan.
Pola “turun kasta” ini juga bermanfaat untuk memberi panggung lebih bagi pemain muda agar bisa tampil di ajang yang lebih besar. Ini bisa menjadi strategi dua arah, membangun ulang kepercayaan diri pemain senior dan mengorbitkan pemain muda untuk menantang dominasi negara lain di level super series tinggi.
Langkah eksperimental yang dilakukan dengan memasangkan Fajar Alfian dengan Shohibul Fikri di sektor ganda putra patut diapresiasi. Walau baru pertama kali berpasangan di turnamen Super 750, mereka mampu mengalahkan ganda Denmark, Rasmus Kjaer/Frederik Socaard dalam pertandingan ketat 21-14, 19-21, 21-11 selama satu jam.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!